21.2.08

Sebuah Nasihat untuk Menata Sikap



“Ada kalanya kita tak perlu memberitahukan sesuatu kepada pasangan kita, jika hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan yang tidak baik”; demikian kata suamiku suatu ketika. Waktu itu aku tidak serta merta mengiyakan pernyataannya, ataupun sekadar mengangguk menandakan persetujuanku akan ucapannya. Meski dalam hati kecil mengakui, mungkin ada benarnya juga.

Aku masih mengernyitkan dahi, mencoba mencermati kalimat demi kalimat yang selanjutnya mengalir dari bibirnya. Sambil menghubung-hubungkan pernyataannya dengan sekelumit peristiwa yang terjadi saat itu. Ya, sebuah peristiwa yang mungkin perkara kecil dan sepele yang banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga siapa pun.
Bermula ketika aku menjawab sebuah panggilan dari ponsel suamiku yang beberapa kali berdering, saat ia sedang pergi ke masjid bersama kedua putra kami. Seorang pria ingin berbicara dengan suamiku. Ternyata teman kantornya. Segera kuberitahukan bahwa suamiku sedang pergi tanpa membawa HP. Setelah itu pembicaraan kami-pun selesai dan terdengar di seberang sana nada komunikasi sudah dihentikan.

Biasanya aku segera meletakkan kembali benda kecil itu ke tempat semula. Namun entah mengapa, saat itu aku begitu tergelitik untuk membuka-buka file dalam ponselnya. Aku melakukannya dengan santai, karena menurutku, suami-pun bebas membuka-buka file dalam ponselku.

Perasaan santaiku sedikit terganggu dengan beberapa inbox pesan dari sebuah nama yang belum kukenal. Nama seorang wanita. Segera kubuka salah satu pesan dari inbox itu, yang membuat perasaanku semakin penasaran dan agak gusar.
“Mas, btw (by the way) curhatku yang tadi itu jangan dikasih tahu ama siapa2 ya? Ocre?!?” demikian bunyi pesan singkat itu. Beberapa pesan lain dari orang yang sama, yang dikirim dalam beberapa hari ini sempat kubaca pula. Semuanya menggunakan ‘bahasa gaul’ yang aku sendiri merasa aneh bila memakai kata-kata seperti itu.

Aku heran, ada seorang wanita yang begitu akrab dengan suamiku dan aku belum mengenalnya, bahkan mendengar namanya. Biasanya aku mengenal baik teman-temannya meski hanya sekadar nama. Aku dan suami biasa bertukar cerita tentang keseharian kami di kantor masing-masing dan tanpa terasa aku mengenal hampir semua nama teman-temannya, sebagaimana pula ia mengenal teman-teman kerjaku. Namun untuk nama yang satu ini tidak…
Lebih herannya, ketika kubuka file outbox suamiku yang selalu membalas pesan-pesan tadi dengan gaya bahasa yang nyaris sama. Aku hampir tak percaya!

Aku menghela nafas panjang, mencoba menjernihkan fikiran dan berusaha mendudukkan permasalahan ini tanpa mengikuti hawa emosi. Aku memutuskan akan segera meminta penjelasan mengenai hal yang tak wajar ini, dalam situasi yang memungkinkan.
Seperti yang telah kuduga, suami menyatakan bahwa wanita tadi adalah teman sekantornya. Selanjutnya ia berkata bahwa aku jangan termakan dengan kata ‘curhat’, karena wanita tadi hanya mengeluh soal pekerjaan kator. Untuk masalah bahasa yang menurutku terlalu gaul, suami mencoba meyakinkanku bahwa ia adalah Anak Jakarta yang memang bahasanya seperti itu dengan siapa saja, sementara suamiku hanya mencoba mengimbangi.

Penjelasannya terus mengalir, sementara fikiranku tak lagi fokus kepadanya, karena aku memutuskan untuk segera menghentikan pembicaraan ini.
“Ya sudah deh, Mas… Kalau hanya mengeluh mengenai pekerjaan kantor. Khawatirnya akan merembet ke hal-hal lain. Aku cuma ingin kita saling mengingatkan. Kan aku sayang suami…”. Aku menutup pembicaraan sambil tersenyum, meyakinkannya bahwa aku selalu berusaha mempercayai ucapannya. Senantiasa memberikan kepercayaan akan kesetiaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami yang sholih.

Meski masih begitu banyak pertanyaan di kepalaku yang campur aduk membutuhkan jawaban yang tepat, aku perlu menenangkan diri. Semoga aku bisa mengambil hikmahnya atau juga bisa berinterospeksi melalui masalah ini.

Dalam kesendirianku, kucoba merenungi tapak demi tapak langkah perjalanan rumah tangga kami. Hampir sembilan tahun sudah kami bersama meniti hari-hari. Dalam kurun waktu tersebut kami saling berbagi dan melengkapi. Sebagaimana sebuah bahtera yang mengarungi samudera. Perjalanan kami-pun tak luput dari riak-riak gelombang, atau bahkan badai yang bisa saja menenggelamkan kami atau memecah dan memisahkan kami. Tentu hanya karena kehendak Allah SWT dan pertolongan-Nya, kami masih mampu menghadapi setiap badai yang datang. Tentu saja dengan ikhtiar kami untuk saling memahami, menghormati dan juga mempercayai satu dengan yang lain.

Suamiku adalah orang yang sholih. Keyakinan itu tertanam dalam hatiku dan tidak begitu saja muncul, melainkan sedikit demi sedikit tumbuh subur seiring tahapan-tahapan langkah perjalanan kami. Pengetahuan agama-nya jauh lebih luas dariku. Hafalan-nya juga lebih banyak. Selain rajin ke masjid, beberapa waktunya juga dipergunakan untuk melakukan aktivitas mengajar Al Quran dan pengetahuan agama kepada para ibu dan bapak di masyarakat. Di lingkungan kami, ia sudah biasa mendapat julukan ustadz, dan tak banyak yang tahu kalau suamiku itu bekerja di sebuah lembaga dalam naungan Departemen Keuangan. Kebanyakan orang mengira suamiku bekerja di Depag, atau bahkan di KUA…

Suamiku juga orang yang sangat bertanggung jawab dalam mendidik putera-puteri kami. Menanamkan kedisiplinan melalui sholat jamaah di masjid, rajin mengajari dan memantau hafalan surat Al Qur’an, mengajak bermain, hingga memandikan dan menyuapi mereka, juga masih banyak lagi kelebihannya di mataku.
Karena itulah aku lumayan terkejut menemukan kalimat-kalimatnya dalam pesan singkat tadi. Seperi bukan dia! Mungkin suamiku sedang khilaf, meski alasannya hanya untuk mengimbangi Si Pengirim pesan yang selalu menggunakan bahasa gaul dalam kesehariannya. Bukankah kita bisa menyenangkan hati orang dengan cara kita sendiri yang lebih baik, tanpa musti larut mengikuti cara dan gaya yang sama dengannya.
Boleh jadi kita bertindak untuk menyenangkan hati orang lain tanpa bermaksud mengarah kepada hal yang dilarang oleh agama. Namun, siapa yang bisa menjamin orang lain itu tak akan salah faham dengan sikap yang kita tunjukkan. Apalagi jalan untuk masuknya syaithan terbuka lebar, melalui pergaulan di tempat kerja yang tidak ada pembatas antara muhrim dengan non muhrim.

Sejak peristiwa itu, aku tak lagi menemukan pesan-pesan singkat dari wanita itu di ponsel suamiku, bahkan pesan-pesan dari siapapun. Baik inbox maupun outbox-nya selalu kosong. Tentu suamiku telah lebih dulu menghapus file-file dalam ponselnya. Sesuai dengan pernyataannya bahwa ada beberapa hal yang sebaiknya aku tak perlu tahu, demi kebaikan…
Meski demikian aku sudah lebih lega, telah mengkomunikasikan ketidaksetujuanku akan suatu hal. Aku sudah berusaha untuk saling mengingatkan demi kebaikan. Aku telah mempercayainya dan selalu memupuk kepercayaan itu dengan begitu banyak kebaikan dirinya. Hanya pengharapan bahwa Allah SWT-lah yang akan menjaga suamiku, dan selalu membimbing langkah perjalanan kami menuju ridho-Nya.

Melalui masalah ini, kini aku bersyukur … karena menemukan sebuah nasihat bahwa aku-pun perlu menata sikap dan perilaku. Setidaknya di tempat kerjaku sendiri. Karena keberadaan diri kita, bila tidak dibekali dengan keimanan kuat dan keikhlasan untuk mencari ridho-Nya, bisa mendatangkan fitnah yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

2 comments:

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Smartphone, I hope you enjoy. The address is http://smartphone-brasil.blogspot.com. A hug.

Yusi Damayanti said...

Subhanalloh..Fivy bener2 berhati lembut & sabar. sayang aq belum bisa bersikap seperti fivy ketika harus menghadapi ujian yg hampir sama. vy, tolong ajari aq u lebih bisa menata diri dan hati...