23.11.06

Sahabat Lama


Desa Karang Rejo terlihat sepi siang ini. Jalanan sepanjang desa nampak lengang. Hanya beberapa kali terlihat para pencari rumput dan semak melintas dengan bawaan keranjang penuh di punggung mereka. Rumput dan semak yang dikumpulkan untuk memberi makan sapi dan kambing, binatang ternak yang dipelihara sebagian besar penduduk di sini. Angin tak terlalu keras bertiup, sementara sinar matahari cukup menyengat.

Lelaki berbadan tegap, berkulit bersih, dan berpakaian rapi; berdiri termangu di hadapan sebuah bangunan tua sambil menyeka keringat di keningnya. Beberapa menit lalu, ia masih berada di atas kereta api yang melaju dari Jakarta, menuju kampung halamannya ini, desa Karang Rejo. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak pernah bisa mengusir rasa rindu untuk segera tiba di tempat ini dan melihat seperti apakah kini masjid tempat ia dulu pertama kali belajar membaca Al Quran. Dari mengenal huruf hijaiyah, hingga lancar membacanya, sampai akhirnya pertama kali khatam 30 juz. Senang sekali!

Dialah dr. Ardan. Lelaki usia 30 tahun, asli dari desa Karang Rejo. Setelah tamat SMA, ia melanjutkan kuliah di ibu kota sambil bekerja untuk membantu mencukupi biaya dari orangtuanya yang pas-pasan. Alhamdulillah, atas kehendak Allah disertai ketekunan dan usaha yang keras, ia berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang dokter.
Dr. Ardan masih terpaku di depan bangunan kecil ini. Masjid Miftahul Jannah, tempat ia banyak melakukan kegiatan semasa kecil dan remaja bersama teman-temannya. Ia ingin sejenak mengenang masa lalunya sebelum meneruskan langkah menyusuri jalanan desa yang dirindukannya. Ia mendekat ke arah teras masjid yang nampak tak terawat. Lantai retak-retak diselimuti debu agak tebal. Mungkin beberapa hari tak ada yang menyapu.
Dahulu, ia sering membantu Pak Amri - guru mengaji, membersihkan teras ini sebelum kegiatan dimulai. Sedangkan Dhika sahabatnya, paling suka membantu menata meja-meja kecil berjajar dua ke belakang sebelum teman-teman yang lain datang untuk belajar mengaji bersama. Ya, ia dan Dhika selalu datang lebih awal dari yang lain untuk mempersiapkan tempat belajar di masjid ini. Pak Amri pernah mengajarkan, bahwa hendaknya setiap orang berusaha berlomba-lomba dalam kebaikan, “fastabiqul khoirot…”. Oleh karena itu, ia dan Dhika sangat bersemangat membantu mempersiapkan tempat untuk mengaji, dan merasa senang bila teman-teman yang lain bisa memanfaatkan hasil jerih payah mereka.
Dr. Ardan menarik nafas. Merasa prihatin dan sedih. Dulu masjid yang selalu ramai dihadiri orang untuk berjamaah sholat lima waktu, senantiasa diwarnai sahut-menyahut bacaan ayat-ayat suci; sekarang nampak sepi, kotor dan tak ada yang mengurus. Apakah semua warga di sini tak ada yang peduli? Tak adakah lagi orang-orang datang berjamaah sholat, dan tergerak untuk merawat masjid ini?
Lelaki itu meletakkan tas yang dijinjingnya ke sudut ruang di dalam masjid, yang tak kalah kotornya. Kemudian berbalik lagi ke teras dan meraih sapu ijuk dengan gagang warna biru yang hampir rusak. Lumayan, masih bisa dipakai. Masih ada waktu beberapa menit untuk membersihkan tempat ini sebelum waktu Ashar tiba. Mudah-mudahan ada orang yang datang untuk berjamaah nanti bersamanya.
Dengan cekatan, ia membersihkan teras masjid dengan peralatan seadanya. Kemudian menuju dalam masjid dan menyapu karpet-karpet tua dengan sapu lidi yang tinggal beberapa helai.
Karpet- karpet sudah sangat lusuh, bahkan ada yang robek dan berlubang.
Sesaat kemudian, dengan sapu tangan yang dibawanya, ia mengelap mimbar kayu warna coklat. Ternyata mimbar kayu jati ini setelah dibersihkan masih seperti dulu, masih bagus dan kuat.

Setelah cukup membersihkan dan merapikan, ia mengambil tempat duduk di atas karpet menunggu waktu sholat Ashar tiba.
Sambil memandang berkeliling, ia lalu teringat, bagaimana dirinya dan Dhika sering berdiri di mimbar itu, berlagak sedang berceramah dan berkhotbah di hadapan orang banyak. Padahal di masjid itu hanya mereka berdua. Suatu ketika ia pernah bertanya pada Dhika.
“Kamu ingin jadi ahli ceramah yang hebat apa tidak, Dhik?”
“Tentu saja” jawab Dhika. Kemudian Dhika buru-buru maju ke depan mimbar, berpura-pura memegang pengeras suara, lalu mulai berpidato:
“Saudara-saudaraku kaum muslimin yang dicintai Allah…, perkenalkan saya Ustadz Dhika, akan menyampaikan…” belum selesai Dhika berpidato, buru-buru Ardan mendorong temannya itu sambil tertawa-tawa menggoda.
“Gantian ustadz Ardan dong, yang ceramah!”
Kemudian mereka lari berkejaran ke halaman masjid dan berhenti bila kelelahan. Terkadang ia dan Dhika juga bertengkar, berebut tempat belajar di sudut kanan baris terdepan. Paling nyaman karena di situ bisa merasakan angin bertiup sepoi-sepoi. Sejuk….

Dr. Ardan tersenyum, mengenang persahabatannya dengan Dhika, dan bagaimana mereka berdua banyak menghabiskan waktu bersama di masjid ini. Saat ini, ia begitu rindu ingin bertemu dengan Dhika, sahabatnya… Di mana dia, apakah ia telah berhasil mewujudkan cita-cita seperti dirinya?

Banyak sekali kenangan indah di masjid ini. Dr. Ardan ingin sekali menghidupkan lagi tempat ini dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat seperti dulu, masa kecilnya. Ingin sekali membangun masjid ini, menjadi lebih baik keadaannya… Insya Allah!
Lelaki itu bangkit, hendak mengambil air wudhu karena merasa telah tiba waktu sholat Ashar. Belum sempat ia berbalik dan melangkah menuju tempat wudhu, ada tangan yang meraih bahunya dari belakang.

“Assalamu’alaikum….” sebuah suara menyapa.
“Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarakatuh” sedikit kaget dr. Ardan menjawab sambil berbalik perlahan. Dan betapa terkejutnya, saat menyadari siapa yang berada di hadapannya kini.
“Dhika! Subhanalloh…, Apa kabar?” nyaris berteriak dr Ardan, lalu memeluk sahabatnya yang memang sangat ingin dijumpai.
“Alhamdulillah, Dokter…” jawabnya sambil tersenyum.
“Bagaimana, em.. eh.. Ustadz Dhika? Bukankah dulu engkau ingin menjadi seorang ustadz?” selidik dr. Ardan pada sahabat lamanya itu.
“Sampai saat ini, aku masih ingin menjadi seorang ustadz, karena harapan itu belum kuraih. Selama ini aku baru kembali dari Surabaya, menyelesaikan studiku…di fakultas teknik” jawab Dhika.
“Kalau begitu, biar kupanggil Engkau Pak Insinyur…”
“Terserah Anda, Pak Dokter…., yang pasti…., aku yakin ada keinginan di hati kita, untuk kembali ke masjid ini kan?”
“Tentu, sobat… mari kita bangun masjid ini, masjid kita, masjid ummat di desa kita….” Ir. Dhika mengiyakan, menggenggam erat tangan sahabatnya.

Seusai menunaikan jamaah sholat Ashar, kedua orang sahabat lama itu terlihat asik saling berbagi cerita dan tertawa-tawa. Keinginan terpancar dari mata mereka, untuk membangun dan menyemarakkan lagi Masjid Miftahul Jannah tempat mereka dulu menimba banyak ilmu. Mereka akan membawa keluarga masing-masing ke desa ini. Bersama-sama membangun masa depan di desa tercinta ini.

20.11.06

Untukmu Sahabat

Aku menyapa kalian..... Teman lama, baru dan sahabatku.....
Semoga karunia Sang Pencipta senantiasa menyertai kita.
Sehingga suka-duka perjalanan yang dianugerahkan-Nya, terasa ringan kita tapaki.

Namun bila duka telah begitu meraja...,
biarkan persahabatan kita menyambutnya,
dengan berbagi dan saling menasihati...

"sesungguhnya manusia merugi,
kecuali orang-orang yang beriman,
serta nasihat-menasihati
dalam kebenaran dan kesabaran"
(QS Al 'Ashr)

Sejuta Asa

Aku punya banyak harapan
ribuan, bahkan jutaan...
berupa mimpi
dan berupa rencana

Teriring doa dan ikhtiar
semoga mimpiku menjadi nyata


Menjadi insan yang berarti
bagi diri dan semua...

Semoga Allah SWT meridhoi
Amin