20.3.08

Bukan Sembarang Ayah


Aku mengagumi sosoknya. Seorang pria yang sangat cermat dan hati-hati dalam membimbing anak-anaknya. Untuk segala urusan baik kesehatan, pendidikan agama, pendidikan formal, sosialisasi, bakat, bahkan sampai urusan perasaan; diusahakan untuk memberikan “yang terbaik”. Padahal, semua yang ia berikan bukanlah sesuatu yang pernah ia dapatkan. Bahkan saking sayangnya kepada anak-anak, terkadang menjadi bias antara memberikan yang terbaik, dengan sikap memanjakan. Untuk hal yang satu ini, aku berusaha untuk selalu mengingatkan. Barangkali sikapnya ini merupakan pelepas dahaga, untuk kehausan akan hal-hal yang belum diperolehnya di masa lalu, dari ayahnya sendiri.

Mula-mula aku kurang percaya dengan cerita-ceritanya. Namun setelah untuk ke-sekian kalinya ia mengatakan hal yang sama, aku mulai yakin bahwa pria ini tidak mengada-ada.
“Ayah menyuruhku untuk mengangkat jemuran ketika hujan tiba-tiba turun. Buru-buru aku kerjakan perintahnya; eh…tanpa disangka ayah bertanya kepadaku, berapa jumlah pakaian yang tadi dijemur. Karena aku tak bisa menjawab, ia menyuruhku menjemur lagi dan menghitungnya.”

Ada juga cerita lainnya yang tak kalah menarik untuk disimak:
“Ketika aku dan kakak ketahuan bertengkar, ayah pasti lalu menyidang kami. Secara bergantian kami menceritakan pembelaan diri masing-masing. Pihak yang menurut ayah salah, mendapat hukuman yang lumayan berat” ucapnya.
“Hukuman apa itu?” tanyaku penasaran.
“Yang jelas hukuman fisik. Misalnya, mulut kami di “jepret” dengan karet gelang” jawabnya.
“Sakit dong..” lanjutku menimpali.
“Yah…paling bibir bengkak” jawabnya sambil merapatkan bibir atas-bawahnya, seolah-olah masih merasakan nyeri. Ia tersenyum kecut. Wajahnya menerawang membayangkan kenangan masa lalu bersama ayahnya. Ia melanjutkan dengan cerita hukuman-hukuman yang biasa dijatuhkan kepadanya dan juga kepada kakak-adiknya bila ada hal-hal yang kurang berkenan di hati ayah. Sialnya, setiap waktu selalu saja ada kesalahan-kesalahan mereka; dan pastinya hukuman akan dirasakan, lagi dan lagi.

Ia adalah seorang pria, yang dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan sepuluh orang bersaudara. Didikan dari orangtuanya, terutama dari Sang Ayah telah begitu dalam menorehkan kenangan, baik pahit maupun manis. Agaknya kenangan pahit menggores sangat dalam bahkan sanggup mengisi mimpi-mimpi tidurnya sampai saat ini, di usianya yang sudah berkepala tiga.
“Belum pernah aku bermimpi tentang ayah, selain ia memarahiku, dan menganggap apa yang kulakukan pasti tak benar di matanya!” suatu ketika ia bercerita, ketika waktu itu dengan terpaksa kubangunkan dari tidur saat mengigau mengerang-erang dan sedikit berteriak.
Namun dari beberapa ceritanya tentang Sang Ayah, dapat kutangkap pula sorot mata kebanggaan dan kekaguman luar biasa terhadap sosok ini. Baginya, kerasnya didikan ayah telah menggembleng ia dan saudara-saudarinya menjadi orang-orang yang kuat dan tegar.

Bersama kakak-adik, ia sebagai anak ke delapan sejak masih usia belia telah mengalami didikan over disiplin baik dalam urusan sekolah, agama dan pekerjaan. Masing-masing sejak kecil dituntut untuk mandiri dalam urusan belajar dan sekolah. Selain itu, tiap anak di keluarganya adalah karyawan yang sangat patuh kepada atasannya, tak lain adalah ayah mereka sendiri.
Toko kelontong yang dimiliki keluarganya, merupakan satu-satunya sumber penghasilan untuk kesejahteraan mereka. Mungkin bila toko kelontong biasa, tak perlu menguras pemikiran dan membutuhkan banyak karyawan untuk mengoperasikan usahanya. Namun toko kelontong mereka memiliki produk unggulan yang membutuhkan karyawan-karyawati dengan keahlian khusus.

Ya, susu kambing yang menjadi produk unggulan mereka, diambil dari hasil memerah sendiri kambing-kambing ternak di belakang rumah. Susu kambing yang bisa langsung dinikmati di toko tersebut, diramu secara khusus dengan menambahkan jahe, madu, telur ayam kampung dan berbagai jenis jamu. Produk ini memang paling mendatangkan omset terbesar, sementara barang-barang dagangan lain akan ikut laku terjual seiring dengan banyaknya pelanggan susu yang datang. Atas karunia Allah SWT, bisa dikatakan, ia dan sembilan saudaranya hidup dan jadi orang, melalui berkah susu kambing tersebut.

“Sejak TK, aku sudah dilatih dan mendapat tugas dari ayah untuk memberi makan ternak secara rutin. Semakin besar, tugas juga semakin banyak dan berat. Dari memerah susu, belanja jahe minimal 2 kwintal, menggiling jahe dengan mesin sederhana, mencari pakan ternak, membersihkan kandang, membantu kambing beranak,…bla-bla-bla…”, ucapnya sambil tersenyum bangga.

Semakin aku menyelami kisah perjalanan masa lalunya, semakin aku mengenal sosok tegar pria ini. Banyak sekali kejadian-kejadian yang langka dialami oleh orang lain seusianya.
Sikap keras dan disiplin yang diterapkan, telah menjadi pola tersendiri bagi semua anggota keluarga. Rasa hormat yang lebih mengarah ke perasaan takut, dapat tercermin dari sikap anak-anaknya yang langsung mengkerut begitu mendengar suara ‘dehem’ Sang Ayah yang khas… Misalnya mereka sedang sedikit bersantai, begitu mendengar suara khas ayah mereka, spontan semuanya akan bergerak untuk beraktivitas sebaik-baiknya, demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan.Alhamdulillah… Pengalaman masa lalu pria ini tidak serta merta menjadi acuan dalam memperlakukan anak-anaknya.

Satu hal yang paling saya kagumi darinya, adalah bagaimana ia bisa mengambil hikmah dari setiap perlakuan keras Sang Ayah di masa lalu. Yang baik ditiru dan diterapkan, sementara yang kurang baik dibuang jauh-jauh, jangan sampai anak-anaknya merasakan kesedihan yang sama.
Ketika kutanya, kenapa ia bisa demikian bijak dalam mendidik anak-anak; jawabannya adalah, karena ia tak ingin menjadi sembarang ayah. Anak-anak adalah amanah dari Allah SWT. Menjaga sebaik-baiknya amanah itu merupakan perintah Allah dan selalu dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah sangat sayang dan berbudi santun kepada anak-anak. Perasaan mereka masih sangat halus, bersih dan lembut. Sesuatu kebaikan akan menorehkan kebaikan pula dalam hati mereka. Sebaliknya, keburukan sikap akan menggores sangat dalam dan meninggalkan luka.

Demikian prinsip pria ini, yang membuatku larut dalam rasa syukur yang tak terkira. Aku akan terus berlatih meniru kebaikannya, dan mencoba saling mengoreksi bila ada hal yang kurang tepat bagi pendidikan anak-anak kami. Karena pria luar biasa ini, adalah suamiku.