19.1.10

Jangan Meminta Pertolongan Kepada Mereka


Inilah sejarah kehidupan kaum muslimin yang kelam dan menyedihkan. Yaitu fenomena bergesernya wala’ (loyalitas), dan jika perhatikan para pemimpin kaum muslimin, maka akan kita temukan tidak ada seorang pun diantara mereka yang bebas dari wala’ kepada orang-orang kafir, kecuali mereka yang telah diberikan rahmat.

Firman Allah Azza Wa Jalla :

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang amat pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (An-Nisaa’ : 138-139)

Ibnu Jarir berkata, “Diantara sifat orang-orang munafik – seperti dikatakan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya – “Wahai Muhammad, beritakan kepada orang-orang yang telah bersumpah kepada orang-orang kafir untuk menentang-Ku dan mengingkari agama para wali-Ku (kaum Anshar dan seterunya), dan agama orang-orang mukmin, apakah dengan begitu mereka mendapat kekuatan? Apakah mereka hendak mencari kekuatan dan penolong dan meninggalkan orang-orang yang beriman kepada-Ku? Maka sesungguhnya segala kekuatan itu berada disisi Allah”.

Selanjutnya, Ibnu Jarir menegaskan, “Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan maksud mencari kekuatan, sesungguhnya mereka adalah dungu dan tidak sempurna. Seharusnya, mereka mencari teman-teman penolong dari orang-orang mukmin. Merekalah yang akan mendapatkan pertolongan dan kemuliaan dari Allah Ta’ala, Dzat yang mempunyai kemuliaan dan kekuatan. Dzat yang memuliakan siapa saja yang dikehendaki=-Nya dan menghinakan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberi kekuatan kepada mereka”, tambah Ibnu Jarir.

Aisyah RA mengkisahkan dalam sebuah hadist bahwa ada seorang lelaki dari kalangan musyrikin bertemu dengan Nabi Shallahu Alaihi Wassalam, dan ingin ikut berperang bersama-sama bersama beliau, kemudian beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah, sesungguhnya kami tidak akan pernah meminta pertolongan kepada orang musyrik”.

Kemenangan tidak akan mungkin digantungkan dengan pertolongan dan berteman dengan orang-orang kafir, yang mereka sudah terang-terangan memusuhi kaum muslimin. Hal ini seperti juga dikemukakan oleh Ibnu Jarir, yang dengan sangat tegas, yang memberikan komentar firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)”, mengatakan, “Orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin, maka ia digolongkan sebaai pengikut orang kafir”, ucapnya.

Karena orang yang orang lain sebagai pemimpin, maka ia akan selalu bersamanya, bersama keyakinannya dan bersama apa yagn diridhai pemimpinnya. Jka ia telah ridha kepadanya dan agamanya, berarti ia telah mengesampingkan segala hal yang ia benci dari sifat-sifat orang kafir.

Kebijakan hukum yang dibuat pemimpin tersebut tentu menjadi kebijakan hukum orang yang mengikutinya. As-Syaukani, berpendapat, “Penyakit hati yang ada dalam hati membuat mereka (Yahudi dan Nashrani) melakukan dosa besar dengan mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka, hingga mereka pun jatuh ke dalam kekufuran”. Bahkan, ada dari kalangan mereka yang menyerukan adanya persaudaraan hakiki antara Yahudi, Nashrani dan Muslimin dengan jalan ‘tauhidul adyan’ (penyatuan agama) yakni persatuan agama-agama dengan satu aqidah.

Dengan adanya wala’ (loyalitas) kebanyakan orang-orang muslim kepada para penguasa dan pemerintahan yang tidak berpegang hukum Allah (kafir), juga mengakibatkan sampai pada tingkat bersikap bara’ (berlepas diri) dari kaum muslimin sendiri. Tidak lagi mau menerima kaum muslimin, dan menjadikan mereka sebagai teman, dan penolong, serta memusuhi mereka dengan permusuhan yang keras.

Banyak kaum muslimin yang berwala kepada orang-orang kafir, meskipun hanya pada tingkat yang rendah sekalipun – seperti, mengagumi para pemimpin sekuler, mencintai para aktor, artis, seniman, musisi, dan mengidolakan terhadap mereka. Meniru gaya hidup mereka, dan menggunakan ciri-ciri yang mereka gunakan, dan berbangga dengan tata cara hidup orang-orang kafir itu.

Tindakan seperti itu berarti membenci setiap muslim yang berpegang teguh kepada perintah-perintah Allah, orang yang menjauhi segala larangan-Nya. Sikap itu, sekaligus menebar kebencian, permusuhan, perlawanan dan melakukan upaya melepaskan diri dari orang-orang mukmin. Upaya ini baik yang dilakukan oleh mayoritas penguasa serta para pejabat pemerintah kaum muslimin – atau ketidak beranian mereka menampilkan diri didepan publik.

Tentu, yang paling memprihatinkan, kefasikan wala’ (loyalitas) dewasa ini telah bergeser timbangannya, hingga mencapai ke taraf bara’ (berlepas diri). Bahkan hanya sedikit kaum muslimin yang dewasa ini yang mampu berlepas diri dari kecenderungan wala’ (loyalitas) kepada orang-orang kafir, sehingga mereka membenci kaum mukminin yang berpegang teguh dengan keimanannya. Kemudian memberkan stempel dan gelar yang sangat buruk bagi mereka dengan sebutan, seperti ektrimis, fundmentalis, teroris, dan menjadi sasaran kampanye yang tujuan menghancurkan mereka.

Allah Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah, itulah yang pasti menang”. (Al-Maidah : 55-56)

Adanya loyalitas baru seperti terhadap nasionalisme, pemikiran-pemikiran dan ajaran sekuler ‘la diniyah’, yang membawa pada tarap kehidupan materialisme yang sangat destruktif, sekarang menjadi ‘ilah-ilah’ baru, yang menutupi jiwa kaum muslimin, sampai kemudian mereka meninggalkan agamanya. Inilah sebuah fenomena yang menyedihkan saat ini. Wallahu ‘alam

SUMBER TULISAN DI SINI

31.1.09

Reunian Dunia Maya dan Profil Pribadi Sukses

Belum bosan-bosannya setiap hari belakangan ini utak-atik sebuah situs pertemanan melalui internet. Kurang lebih satu bulan yang lalu bergabung, ternyata selalu ada kejutan. Bertemu teman-teman lama, teman SMP dan SMA yang tentunya sudah lama sekali tak saling menyapa.

Inilah dampak positif teknologi. Bisa menjalin kembali silaturahmi, persaudaraan dan persahabatan dengan orang-orang yang telah lama berpisah. Ada anehnya, ada lucunya, ada terharunya, ada senangnya. Yup!. Sebagian besar masih serba menggembirakan. Asal kita bisa mengambil sisi-sisi baik dari pertemanan dan reunian dunia maya ini.

Banyak perubahan yang terjadi pada diri kami. Yang dulu kecil imut-imut, sekarang gedhe amit-amit. Yang dulu pendiem bukan main, sekarang lucu bukan main. Yang dulu bandel sekali, sekarang bijak sekali. Apa lagi ya... yang dulu agak-agak nggak kenal, sekarang jadi akrab. Hmmm, luar biasa!

Bagiku, bertemu dengan teman-teman lama dan menyelami profil mereka, amat mengasyikkan. Membayangkan aktivitas mereka sekarang; merupakan wacana yang bisa kuambil hikmahnya. Aku jadi banyak belajar dari sisi-sisi mengagumkan mereka, yang hampir semuanya menjadi orang 'sukses'.

Setidaknya aku menilai kesuksesan ini dari pengamatanku akan kegiatan akademis mereka, perjalanan-perjalanan mereka ke berbagai negara dan aktivitas perbincangan dengan mereka, ataupun perbincangan antar teman yang setiap saat bisa kuakses perkembangannya.

Teman-teman lamaku memang orang-orang yang aktif, dinamis, dan suka bekerja keras. Selain mereka juga sejak dulu dianugerahi akal yang cerdas oleh Sang Khaliq. So, sesuai sunnatullah tentunya wajar jika mereka menjadi orang-orang sukses. Salut...!

***
Wajahnya terlihat teduh dan bersih. Ucapannya ramah dan akrab. Ditunjang penampilan yang bersahaja, menambah kesan berwibawa bagi lelaki usia 70-an ini. Setidaknya itulah kesan yang aku tangkap dari sekilas pengamatanku, karena ia nampaknya tak punya banyak waktu untuk lebih lama berbincang dengan suamiku, ketika berpapasan dengan kami di sebuah jalan di perumahan kami. Sehingga aku tak bisa lebih lama mengamatinya.

Namanya H Thohir. Beliau adalah teman akrab suamiku berkat sama-sama giat berkunjung ke masjid tiap Subuh, Maghrib dan ‘Isya. Kata suamiku, banyak orang menilai H Thohir sebagai seorang yang bangkrut. Namun menurut suamiku, justru beliau adalah orang yang luar biasa sukses. Bagaimana bisa?

Dulunya ia adalah pengusaha kaya raya yang memiliki harta benda amat banyak. Rumah dan mobil mewah tak hanya satu dua, belasan mungkin. Belum lagi gaya hidup yang amat keren, yang menyebabkan banyak teman dan kolega mengerumuni dan menyanjungnya. Ibarat sekuntum bunga cantik wangi, menawarkan banyak sari madu, sehingga ia diserbu oleh banyak kumbang. Semua ingin mendapatkan manfaat dari H Thohir.

Namun kondisi bergelimang materi tersebut ternyata tak setia menemaninya. Beberapa tahun lalu, H Thohir mengalami kerugian dalam spekulasi bisnisnya. Meski yang namanya bisnis memang selalu ada untung ruginya, namun masalah bisnis yang dihadapinya kali ini benar-benar sanggup menghabiskan harta benda yang semula begitu berlimpah.

H Thohir akhirnya tinggal di sebuah rumah kontrakan yang amat sederhana. Suamiku pun sempat heran dan tak menyangka ketika pertama kali singgah ke rumah kontrakan tersebut. Sangat tidak matching dengan penampilan berwibawa, akademis, pintar, yang selama ini dirasakan suamiku selama bergaul dengannya pun dalam setiap rapat pertemuan di masjid. Selama ini masih menebak-nebak, beliau ini pengusaha atau pensiunan apa. Terlihat begitu smart ! Meski pada waktu itu suamiku juga belum tahu latar belakang kehidupan H Thohir sebelumnya.

Di sinilah suamiku bisa menilai kesuksesan H Thohir. Dalam keadaan terpuruk akibat bisnis yang gagal; beliau sukses mengatasi kondisi mental dan jiwanya. Beliau bersyukur, setelah jatuh miskin banyak sekali hikmah yang menyejukkan jiwanya. Ia merasa lebih mengenal dan dekat kepada Sang Pencipta.

Sewaktu bergelimang dengan kemewahan, ia tak pernah merasakan ni’matnya beribadah, indahnya sholat berjamaah dan berinteraksi dengan banyak kalangan di masjid. Ia hanya merasa dikelilingi oleh orang-orang yang menyanjungnya karena harta.

Ada salah satu teman yang semula begitu hormat dan senantiasa meluangkan waktu untuknya, dan siap mendengarkan keluh kesahnya; ketika ia masih kaya. Namun kini orang tersebut berubah total. Bertemu dengan beliau pun seolah-olah tak mengenal atau seolah tak melihat. Dalam keadaan sekarang, sudah nampaklah siapa-siapa yang mendekatinya karena tulus berteman, atau siapa yang hanya menghormatinya krena materi.

Dalam ceritanya kepada suamiku, H Thohir juga bersedih tatkala mendapati kondisi teman yang memiliki nasib hampir sama dengannya namun tak kuasa mengendalikan jiwanya, dan berujung dengan kehilangan akal sehat. Na’udzubillah...

H Thohir begitu sukses menentukan pilihan ketika menghadapi masa kritis. Ia tak henti berikhtiar untuk bangkit dari keterpurukan bisnis. Menambah silaturahmi dengan banyak kalangan, dan mendoakan teman-teman lamanya yang lalai, melalui memperbanyak diri berinteraksi di masjid. Beliau tidak larut dalam kepedihan, justru mengambil hikmah dari cobaan ini. Bisa saja ia tak memilih masjid sebagai tempat pelarian. Ia bisa memilih kepada hal-hal dan tempat buruk yang banyak dilakukan oleh orang-orang frustrasi.

“Ini memang cara Allah untuk menunjukkan kasih sayangya kepada saya. Saya menjadi lebih dekat kepada-Nya!” demikian ucapan yang senantiasa diingat oleh suamiku.

Tak lama setelah pertemuan singkat dengan kami itu, Allah SWT berkehendak memanggilnya kembali untuk selama-lamanya. H Thohir wafat dalam keadaan tawakkal, beberapa hari setelah melangsungkan pernikahan putri bungsunya. Beliau tidak meninggalkan harta benda melimpah, melainkan meninggalkan keteladanan. Bagaimana seseorang menata hati, mengkondisikan jiwa dan perasaan ketika cobaan yang begitu sulit mendera.

Sambil memandang wajah bersih beliau yang terpejam, suamiku mendoakan, semoga H Thohir benar-benar telah sukses di hadapan Yang Maha Berkehendak. Insya Allah husnul khotimah. Amin.

***
Mudah-mudahan, kesuksesan diraih pula oleh teman-teman lamaku. Tak hanya dalam berjibaku di perhelatan kehidupan dunia ini. Moga mereka dan aku pun sukses mengumpulkan bekal bagi perjalanan pulang ke kampung halaman akhirat nantinya
Sambil berjuang dalam aktivitas harian, bersama orang-orang yang kita cintai untuk meraih sukses di dunia ini, sukses pula perjalanan menuju kampung keabadian itu, yang niscaya kan kita jelang...

“Bersungguh-sungguh dalam urusan dunia, seolah kita kan hidup selamanya. Dan bersungguh-sungguh dalam urusan akhirat, seolah-olah ajal telah di depan mata”

Allahu a’lam.
http://www.eramuslim.com/oase-iman/reunian-dunia-maya-dan-profil-pribadi-sukses.htm

18.1.09

Mimpi Bunda untuk Palestina


"Saat kelopak-kelopak mata buah hatiku telah mengatup dan jiwanya tengah terbuai oleh mimpi, ku memandang indah purnama pada wajah mereka. Pesona bocah nan rupawan telah meletupkan semangat; untuk menikmati hidupku dengan pengorbanan. Pada mereka tergantung asa bagi berjuta angan dan cita mulia. Anak adalah kekasih kita, harapan kita... Seolah tak sabar menanti, ketika mata indah mereka kembali terbuka untuk menyapaku. Kan kusambut mereka dengan cinta..."

Mereka ada di sisiku, bersama menikmati nuansa yang tenteram bersahabat. Namun seandainya... Andai aku dan buah hatiku tak berada di sini, melainkan tinggal di bumi para syuhada: Palestina.

Mungkinkah aku sanggup menikmati wajah teduh mereka, dengan kelopak-kelopak mata yang terkatup. Bukan dalam nyenyak tidurnya, namun tertutup untuk selamanya? Karena bocah kecilku nan lucu, telah terenggut jiwanya oleh letupan peluru pada tubuhnya. Darah segar menyiram tubuh mungilnya, dengan beberapa bagian tubuh yang tak bisa lagi kubelai karena tercecer entah ke mana. Meski senyum menghiasi wajah pucatnya, sanggupkah aku tersenyum bahagia, dan merelakannya menjadi sasaran peluru dan bom yang terus diledakkan secara kesetanan oleh tentara-tentara yang menjajah negeriku. Akankah kupersembahkan satu demi satu buah hatiku dan menyerahkan begitu saja untuk memuaskan kebiadaban nafsu angkara?

Sekali lagi, seandainya aku yang menjadi mereka, para ibu dari anak-anak di Palestina...

Nyatanya aku kini berada di sini. Dengan suasana yang jauuuh...berbeda dengan kondisi saudara-saudariku di bumi mulia itu. Meski kuyakin mereka tak gugur dengan sia-sia, kepedihan ini begitu membuncah. Apa yang bisa kulakukan?

Hari demi hari, pembantaian terus berlanjut entah sampai kapan. Tak lagi hanya dalam hitungan seratus dua ratus. Seribu lebih, tubuh para bocah dan ibu-ibu terbujur kaku di sekitar tempat tinggal mereka...

Ketika wajah-wajah bocah Palestina yang berguguran dari waktu ke waktu kembali kusaksikan melalui layar kaca. Hati ini semakin terkoyak. Kafan dengan bercak darah membungkus tubuh kecil itu. Sang ayah melepas kepergiannya dengan kecupan sayang. Tanda ikhlas dan tawakkal, meski ada titik air mata di pipinya. Pemandangan yang menyadarkanku. Mereka begitu kuat dan tabah menghadapi ujian. Begitu berat beban penderitaan, kesedihan, ketakutan di depan mata. Mereka kuat... Akankah aku menyerah begitu saja, merasa diri tak beguna karena tak mampu memberi arti bagi perjuangan mereka?

Menyaksikan ketabahan para mujahid Palestina, berkobar kembali harapanku. Aku tak boleh berhenti bersimpati. Sekecil apa pun solidaritasku, itulah ikhtiar... Meski hanya untuk melantunkan doa-doa bagi mereka. Dalam tiap sujudku, dalam duduk tafakkur, dalam dzikir segala aktivitasku. Menyematkan keprihatinan dalam jiwa, dengan terus melewati detik demi detik waktu tanpa perbuatan sia-sia. Karena itulah yang kubisa. Memperbaiki diri, sebagai bekal mendidik para penerusku.

Memimpikan anak-anakku, kelak kan mampu memberikan yang lebih berarti bagi perjuangan saudara-saudariku di bumi Palestina. Insya Allah!

Wallahu a'lam.

15.12.08

Sejatinya Seorang Ibu

Betapa beruntungnya menjadi seorang ibu. Baginya terbentang pujian, penghormatan, dan kenangan istimewa dari tiap insan, karena setiap manusia terlahir dari "rahim" seorang ibu.

Rahim sendiri berarti kasih sayang; sepotong kata yang enak di dengar dan menentramkan. Begitu indah dan suci.

Sungguhlah tepat Allah SWT yang menganugerahi rahim dalam diri seorang ibu, menjadikannya sumber kasih sayang bagi mahluk mungil yang dilahirkannya, diasuh dan dibesarkan hingga dewasa, seterusnya bahkan sampai kapan pun jua. Kasih sayangnya akan terus mengalir. Dalam setiap doa dan pengharapan, ibu menginginkan yang terbaik bagi para buah hatinya.

Tugas ilahiah seorang ibu adalah tugas sesuai kodratnya. Sangat mulia dan berat, sehingga mustahil peran tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat tanpa adanya keselarasan jiwa seorang ibu dengan kodrat yang telah dianugerahkan oleh Yang Mahatahu. Jiwa suci penuh nur illahi seorang ibu, akan mengantarkan putra-putrinya pada kehidupan penuh kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman lahir bathin.

Tengoklah sosok Anas bin Malik. Sentuhan nilai moral Sang Ibu (Rumaisha binti Milhan/Ummu Sulaim) semenjak Anas masih kecil, menjadikan putranya tersebut sangat mengenal dan mengasihi Rasulullah Muhammad SAW berikut ajaran beliau yang mulia meski belum pernah sekalipun bertemu muka dengan Rasulullah SAW. Kerinduan Anas untuk bertemu dengan Rasulullah begitu membuncah, meluap-luap.... hingga ketika tersiar khabar kedatangan beliau SAW ke Madinah, betapa bahagianya ia seolah tak sabar untuk berjumpa. Anas yang masih belia pun akhirnya membaktikan diri untuk melayani Rasulullah. Dan semenjak ia tinggal bersama Rasulullah SAW, Anas bin Malik menjadi salah seorang 'terhebat' dalam menghafal dan menyampaikan haditsnya.

Atau ingatkah kita dengan kisah empat kakak beradik yang gugur dalam peperangan membela Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab? Pemuda-pemuda gagah nan pemberani, menjadi mujahid melalui bimbingan seorang Khansa binti Amru. Ibu yang piawai melantunkan syair ini gemar mengobarkan semangat jihad melalui syair-syairnya. Maka tatkala mengetahui ke-empat putranya gugur di medan laga dengan kemenangan Islam gilang-gemilang, Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan:"Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!" Dari peristiwa peperangan itu pula Sang Ibu mendapat gelar kehormatan 'Ummu syuhada' .

Dua kisah tadi hanyalah wakil dari jutaan kisah hebat seorang ibu dalam membesarkan dan mendidik buah hatinya hingga menjadi insan mulia yang didambakan. Kita masih bisa menebarkan pandangan dan menemukan kisah-kisah mengagumkan dari seorang ibu yang mungkin tanpa kita sadari, berada di sekitar kita; bahkan pada diri ibunda kita sendiri.

Bayangkan petuah-petuahnya, yang meski sering kita bantah namun terus mengalir, demi menjaga kita. Atau aktivitasnya yang dulu kita anggap hal sederhana: menyiapkan keberangkatan kita ke sekolah, menemani belajar, membelikan jajan, memilihkan pakaian, memijat badan kita, memegang kening kita dengan penuh kecemasan. Ketika ibu marah, tak kan berlangsung lama..., dan setelah itu kasihnya akan jadi berlimpah ruah. Aduhai Ibu..., sungguh indah kenangan bersamamu. Sungguh tak pantas, bila kita tak berbuat baik kepadanya.

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاس بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Sebagai seorang anak, doa kita tentu sangat berharga bagi beliau; diiringi dengan perbuatan kita yang senantiasa diupayakan untuk kebahagiaannya, meski tak kan mampu membalas kebaikannya...

Jika pada masa kini kita menemukan sosok ibu yang memiriskan hati; segera perlu kita pertanyakan. Gerangan apa yang menyebabkan demikian?

Mengapa seorang ibu tega meninggalkan bayi mungilnya di sembarang tempat, atau bahkan menghilangkan nyawanya terlebih dahulu dengan cara yang biadab. Atau...menipu anak-anaknya dengan memberi minum susu yang terlebih dahulu diracuni; kemudian setelah buah hatinya menghadap Sang Pencipta, ia pun menghabisi sendiri kehidupannya?
Ada pula yang tega menghinakan darah dagingnya dengan menjual kehormatannya kepada para lelaki hidung belang. Ah.., ada apa dengan ibu-ibu seperti mereka?

Tentunya para ibu ini adalah wanita-wanita yang telah mencampakkan nilai-nilai ilahiah dari relung jiwa mereka. Nilai-nilai yang raib seiring dengan pudarnya kasih sayang yang murni. Nilai kasih sayang yang telah disimbolkan dengan rahim yang dianugerahkan kepadanya. Sehingga mereka memaknai kasih-sayang dengan cinta kasih semu yang menyesatkan. Mereka mengaku kasihan kepada anak-anak yang menurut persepsinya tak memperoleh kehidupan layak, kekayaan yang tak cukup. Hingga tega membunuh jiwa-jiwa mereka.

Untuk itu, wahai para ibu...
Allah SWT telah memuliakanmu, meninggikan derajatmu, dan menjadikan sosokmu sebagai simbol kasih sayang nan suci. Kasih sayang yang diilhami oleh nilai-nilai ketuhanan.

Kemuliaan yang dapat diraih hanya dengan menunaikan ketaatan pada-Nya. Menapaki mozaik-mozaik kehidupan dalam koridor yang diridhoi-Nya, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh suri teladan umat. Insya Allah..., kebahagiaan dunia akhirat kan menyertaimu.

(Berjuta kasih & bakti, untuk bundaku: Hj. Umi Rochmah)

Sebuah Empati yang Kunanti

Suatu hari, di sebuah desa tempat berlibur seorang gadis kecil; tepatnya di desa tempat tinggal kakeknya.Anak perempuan kecil itu (usia lima tahun-an) menangis sesenggukan dengan kelelahan. Air matanya telah habis, karena sudah hampir satu jam menangis meraung-raung sambil berlari ke sana ke mari, mengejar teman-teman bermainnya yang terus meledek.

Mereka yang meledek tertawa terpingkal-pingkal dengan wajah pongah dan bangga, karena gadis kecil itu tak pernah bisa menyentuh mereka. Mereka adalah saudara-saudara sepupunya; memang memiliki postur tubuh lebih besar, dan memiliki usia lebih tua sekitar 1-2 tahun dari gadis kecil malang itu.

Entah bagaimana awal mulanya. Barangkali sesuatu telah menyentil perasaan gadis kecil ini, hingga pecah tangisnya. Dalam kesedihannya, teman-teman yang melihat dan mendengar keadaannya justru meledek, hingga emosi gadis kecil ini tak terbendung lagi. Meraung-raung, berguling-guling di tanah, dan berlari mengejar teman-temannya.

Padahal, kalau pun salah satu dari mereka bisa diraih, ia juga tak tahu akan diapakan tubuh orang yang membuatnya semakin jengkel dengan keadaan ini. Yang ada hanyalah “marah”, “jengkel”, “malu”….. Apalagi terlihat semakin banyak orang berdatangan melihatnya, tersenyum geli, bertepuk tangan akan aksi ngambek dirinya; tanpa ada yang berbelas kasih untuk menenangkannya. Jauh di lubuk hatinya, ada jeritan….. ”Mengapa tak ada yang peduli denganku?, Mengapa semua menertawakanku?”….

Dalam kelelahan dan sedu-sedan tangisnya, tiba-tiba gadis kecil itu merasakan ada yang membelai pelan kepalanya. Agaknya pertolongan yang dinanti telah datang. Suara lembut seorang lelaki muda berbadan tinggi.“Ayo…ikut Pakdhe Raksasa….” kata laki-laki itu menghibur, sambil mengulurkan kedua tangannya.

Sedikit ragu gadis kecil itu menerima uluran tangan “Pakdhe Raksasa”. Ia mulai tenang, meski masih sesenggukan. Sejurus kemudian, gadis kecil sudah berada di gendongan Pakdhe Raksasa, nyaman di atas pundak laki-laki tinggi itu, dan melenggang pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang tadi menontonnya, juga sepupu-sepupunya yang seketika diam mengejek, karena pertunjukan telah habis.

“Nah….kamu sekarang tinggi kan di atas pundak Pakdhe Raksasa?” Sang Pakdhe terus menghibur di sepanjang perjalanan menuju rumah kakek. Gadis kecil mulai gembira dan tersenyum.“Ayo Pakdhe…! Lebih kencang jalannya…. kayak kuda…!” teriak gadis kecil riang.

Pakdhe Raksasa telah berhasil menghibur gadis kecil atas insiden yang sempat menderanya. Ia bersyukur lega, karena keponakan kecilnya tak lagi frustrasi dan sedih. Ia tahu, senyum dan tawa gadis kecil merupakan tanda terima kasih yang tak terkira banyaknya, atas sebuah pengertian. Empati yang begitu indah. Meski peristiwa dipermalukan di depan umum tadi ternyata akan sangat membekas di hati sang Gadis kecil, hingga ia tumbuh dewasa…., bahkan hingga peristiwa sedih itu telah berlalu 27 tahun silam.

(Karena gadis kecil itu adalah diriku…^_^. Dan Pakdhe Raksasa itu adalah pamanku, yang mungkin beliau sendiri telah lupa kejadiannya. Terima kasih… Pakdhe Raksasa, aku akan berusaha menjaga perasaan anak-anak kecil, karena luka mereka di masa kanak-kanak ternyata bisa mendatangkan trauma…)

eramuslim

Antara Amrozi, Anakku, dan Dzikrul Maut

Kurang lebih 6 tahun yang lalu, anakku telah mengenal Amrozi. Tepatnya “nama” Amrozi. Waktu itu Wafdan baru berumur 3 tahun-an. Bukan berarti karena di usia sehijau itu anakku telah gemar menyimak berita di televisi. Berbagai media memang tengah gencar-gencarnya mengulas aksi pengeboman di Bali; aksi memalukan yang mencoreng Islam.

Hampir semua orang seketika familiar dengan nama Amrozi. Biasanya setiap disebut nama Amrozi, sontak orang akan berfikir tentang Bali, bom, terorisme…bla.. bla bla ..Namun bila nama Amrozi disebut di depan anakku, ia akan langsung berfikir: singa. Kenapa demikian?!?

Karena memang setahu dia, Amrozi itu adalah nama seekor singa. Waktu itu memang Wafdan kecil yang lagi senang-senangnya dengan aneka binatang; kami ajak berwisata ke Taman Safari. Ia begitu terhibur dengan atraksi singa dan Sang Pawang yang memberi nama binatang kesayangannya dengan nama Amrozi. Rupanya Si Pawang latah juga dengan memberi nama yang sedang tenar pasca kejadian bom Bali.Beberapa tahun lamanya anakku masih lekat dengan image bahwa Amrozi adalah seekor singa jantan yang begitu mengesankan di arena pertunjukan.

Hingga akhirnya, beberapa hari lalu; setelah sebelumnya berita tentang Amrozi cs redup dan muncul lagi secara bertubi-tubi; karena konon eksekusi akan segera dilakukan. Wafdan yang kini berumur hampir 9 tahun dan sudah mulai gemar menyimak berita; kembali terjejali dengan nama Amrozi karena nyaris tiap hari mendengar dan menyaksikan beritanya. Namun kini dengan image yang berbeda.Sekarang sama dengan persepsi orang kebanyakan tentang Amrozi: seorang terpidana mati atas tuduhan terorisme.

Wafdan jadi sering bertanya: “Amrozi sudah dihukum mati belum, Mi?” Demikian pertanyaan yang kerap diulang-ulang. Setiap hari, bahkan mungkin sehari bisa tiga kali. Paling aku tersenyum dan menjawab “Belum”. Dalam fikiranku sendiri, ada tanda tanya. Kenapa berita tentang eksekusi mati Amrozi cs begitu menarik dalam fikiran anak seusianya….. Secara iseng aku balik bertanya kepada Wafdan: “Bagaimana perasaanmu jika menjadi Amrozi; yang akan dihukum mati?”

Ternyata jawaban yang tak terduga keluar dari mulutnya: “ Ya….alhamdulillah….”“Kok?!?” sahutku kemudian.“Kan paling-paling, sakitnya sedikit waktu ditembak. Habis itu masuk surga” jawabnya tegas.Ha? Aku sedikit kaget, campur geli namun takjub juga.Kaget karena jawaban tegasnya tentang rasa syukur jika dihukum mati. Padahal aku mengumpamakan dia sebagai Amrozi; dengan kata lain bagaimana jika ia yang menghadapi hukuman mati itu. Jangan-jangan, anakku menyimak dengan detil setiap kata-kata semangat yang dilontarkan oleh Amrozi bila muncul di layar kaca.Geli; karena ekspresinya yang lucu. Seolah tanpa beban bila maut di depan mata.Dan aku pun takjub; karena setelah kuhayati, ternyata anakku ini memang sangat peka, kritis, dan menyimak setiap peristiwa yang berkaitan dengan dzikrul maut.

Bukan hanya peristiwa yang berkaitan dengan Amrozi. Pernah ketika kami melewati kompleks pemakaman Pondok Ranggon, yang kebetulan setiap hari dilalui bila kami menuju sekolah Wafdan; aku tak menyangka Wafdan berkata:“Umi, kalau aku meninggal, aku pengin yang di bawah pohon itu ya!” Dengan sedikit terkejut aku jawab: “Emang kenapa?”“Soalnya Wafdan nggak mau kepanasan di dalam kubur. Kan kalau atasnya ada pohon jadi sejuk..”

Itulah anak-anak…. Perkataannya sering spontan, tak terduga, namun ternyata sangat mungkin untuk diambil hikmahnya. Kalimat yang begitu menyentilku untuk lebih merenung. Tentang kematian, yang pasti ‘kan datang. Kata-kata yang mendorongku untuk terus belajar, mencari jawaban yang benar dan kemudian memacu diri untuk berbuat positif demi masa depan nan abadi. Sebuah support untuk aku bisa berupaya memberikan jawaban yang tepat bila ada lagi pertanyaan-pertanyaan kritis dari anakku, bahkan dari yang lain. Tak hanya tentang kematian, juga tentang kehidupan.

Terima kasih, Nak… Ummi banyak belajar darimu. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba yang mendapat rahmat-Nya kelak, di hari akhir nanti. Amin.

eramuslim.com

Muhasabah Hari Ini

01 Maret 2007

Dalam perenunganku kali ini, masih terngiang taushiyah dari salah seorang guru dan sahabatku:"Hendaknya kita berani 'beda' dalam lingkungan yang tidak islami dan menunjukkan ciri khas kita; karena memang seharusnya ada bedanya antara orang yang telah lama mengenyam tarbiyah, dari pada orang yang belum mengenalnya"

Memang seharusnya demikian...kata lubuk hatiku yang terdalam. Seorang ikhwah yang telah sekian lama mengikuti gemblengan nilai-nilai illahiah dalam perjalanan tarbiyah, tentu sedikit-banyak terwarnai dengan pola/karakter yang memang diharapkan terbentuk melalui proses perjalanannya.

Pribadi yang beriman, taqwa, smart, ikhlas, dan segudang lagi atribut bagi orang yang sukses dalam perjalanan tarbiyahnya. Sehingga pribadi semacam ini, akan selalu membawa dampak positif (kemashlahatan) bagi siap saja yang dekat atau mengenalnya. Setidaknya memberi keteladanan, bukan menggurui. Orang lain baik itu teman, sahabat, bahkan yang belum kenal sekali-pun akan menilai pribadi semacam ini sebagai good looking profile, good chatting person dan hingga akhirnya menjadi good prototype person. Ia akan diikuti dan ditiru untuk hal-hal yang mulia.

Upps... aku menjadi malu pada diri sendiri. Rasanya belum ada ciri-ciri pribadi harapan tarbiyah yang membekas pada diriku. Untuk bertahan dari arus yang melunturkan banyak idealisme-ku ternyata amat sulit. Terkadang aku merasa larut dalam suasana yang banyak membuatku lalai dari koridor semestinya.

Bagaiman aku bisa berkiprah untuk memberi yang terbaik bagi sekelilingku?Astaghfirullah. Setidaknya, aku harus berusaha. Step by step, menata lagi perjalananku ke depan. Menyayangi teman & sahabat yang ada di sekitarku, dengan ketepatanku bersikap & bertingkah-laku. Bukan menggurui, tapi memberi contoh.

Dimulai dari memperbaiki diri. Amin.