15.12.08

Sejatinya Seorang Ibu

Betapa beruntungnya menjadi seorang ibu. Baginya terbentang pujian, penghormatan, dan kenangan istimewa dari tiap insan, karena setiap manusia terlahir dari "rahim" seorang ibu.

Rahim sendiri berarti kasih sayang; sepotong kata yang enak di dengar dan menentramkan. Begitu indah dan suci.

Sungguhlah tepat Allah SWT yang menganugerahi rahim dalam diri seorang ibu, menjadikannya sumber kasih sayang bagi mahluk mungil yang dilahirkannya, diasuh dan dibesarkan hingga dewasa, seterusnya bahkan sampai kapan pun jua. Kasih sayangnya akan terus mengalir. Dalam setiap doa dan pengharapan, ibu menginginkan yang terbaik bagi para buah hatinya.

Tugas ilahiah seorang ibu adalah tugas sesuai kodratnya. Sangat mulia dan berat, sehingga mustahil peran tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat tanpa adanya keselarasan jiwa seorang ibu dengan kodrat yang telah dianugerahkan oleh Yang Mahatahu. Jiwa suci penuh nur illahi seorang ibu, akan mengantarkan putra-putrinya pada kehidupan penuh kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman lahir bathin.

Tengoklah sosok Anas bin Malik. Sentuhan nilai moral Sang Ibu (Rumaisha binti Milhan/Ummu Sulaim) semenjak Anas masih kecil, menjadikan putranya tersebut sangat mengenal dan mengasihi Rasulullah Muhammad SAW berikut ajaran beliau yang mulia meski belum pernah sekalipun bertemu muka dengan Rasulullah SAW. Kerinduan Anas untuk bertemu dengan Rasulullah begitu membuncah, meluap-luap.... hingga ketika tersiar khabar kedatangan beliau SAW ke Madinah, betapa bahagianya ia seolah tak sabar untuk berjumpa. Anas yang masih belia pun akhirnya membaktikan diri untuk melayani Rasulullah. Dan semenjak ia tinggal bersama Rasulullah SAW, Anas bin Malik menjadi salah seorang 'terhebat' dalam menghafal dan menyampaikan haditsnya.

Atau ingatkah kita dengan kisah empat kakak beradik yang gugur dalam peperangan membela Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab? Pemuda-pemuda gagah nan pemberani, menjadi mujahid melalui bimbingan seorang Khansa binti Amru. Ibu yang piawai melantunkan syair ini gemar mengobarkan semangat jihad melalui syair-syairnya. Maka tatkala mengetahui ke-empat putranya gugur di medan laga dengan kemenangan Islam gilang-gemilang, Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan:"Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!" Dari peristiwa peperangan itu pula Sang Ibu mendapat gelar kehormatan 'Ummu syuhada' .

Dua kisah tadi hanyalah wakil dari jutaan kisah hebat seorang ibu dalam membesarkan dan mendidik buah hatinya hingga menjadi insan mulia yang didambakan. Kita masih bisa menebarkan pandangan dan menemukan kisah-kisah mengagumkan dari seorang ibu yang mungkin tanpa kita sadari, berada di sekitar kita; bahkan pada diri ibunda kita sendiri.

Bayangkan petuah-petuahnya, yang meski sering kita bantah namun terus mengalir, demi menjaga kita. Atau aktivitasnya yang dulu kita anggap hal sederhana: menyiapkan keberangkatan kita ke sekolah, menemani belajar, membelikan jajan, memilihkan pakaian, memijat badan kita, memegang kening kita dengan penuh kecemasan. Ketika ibu marah, tak kan berlangsung lama..., dan setelah itu kasihnya akan jadi berlimpah ruah. Aduhai Ibu..., sungguh indah kenangan bersamamu. Sungguh tak pantas, bila kita tak berbuat baik kepadanya.

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاس بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Sebagai seorang anak, doa kita tentu sangat berharga bagi beliau; diiringi dengan perbuatan kita yang senantiasa diupayakan untuk kebahagiaannya, meski tak kan mampu membalas kebaikannya...

Jika pada masa kini kita menemukan sosok ibu yang memiriskan hati; segera perlu kita pertanyakan. Gerangan apa yang menyebabkan demikian?

Mengapa seorang ibu tega meninggalkan bayi mungilnya di sembarang tempat, atau bahkan menghilangkan nyawanya terlebih dahulu dengan cara yang biadab. Atau...menipu anak-anaknya dengan memberi minum susu yang terlebih dahulu diracuni; kemudian setelah buah hatinya menghadap Sang Pencipta, ia pun menghabisi sendiri kehidupannya?
Ada pula yang tega menghinakan darah dagingnya dengan menjual kehormatannya kepada para lelaki hidung belang. Ah.., ada apa dengan ibu-ibu seperti mereka?

Tentunya para ibu ini adalah wanita-wanita yang telah mencampakkan nilai-nilai ilahiah dari relung jiwa mereka. Nilai-nilai yang raib seiring dengan pudarnya kasih sayang yang murni. Nilai kasih sayang yang telah disimbolkan dengan rahim yang dianugerahkan kepadanya. Sehingga mereka memaknai kasih-sayang dengan cinta kasih semu yang menyesatkan. Mereka mengaku kasihan kepada anak-anak yang menurut persepsinya tak memperoleh kehidupan layak, kekayaan yang tak cukup. Hingga tega membunuh jiwa-jiwa mereka.

Untuk itu, wahai para ibu...
Allah SWT telah memuliakanmu, meninggikan derajatmu, dan menjadikan sosokmu sebagai simbol kasih sayang nan suci. Kasih sayang yang diilhami oleh nilai-nilai ketuhanan.

Kemuliaan yang dapat diraih hanya dengan menunaikan ketaatan pada-Nya. Menapaki mozaik-mozaik kehidupan dalam koridor yang diridhoi-Nya, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh suri teladan umat. Insya Allah..., kebahagiaan dunia akhirat kan menyertaimu.

(Berjuta kasih & bakti, untuk bundaku: Hj. Umi Rochmah)

Sebuah Empati yang Kunanti

Suatu hari, di sebuah desa tempat berlibur seorang gadis kecil; tepatnya di desa tempat tinggal kakeknya.Anak perempuan kecil itu (usia lima tahun-an) menangis sesenggukan dengan kelelahan. Air matanya telah habis, karena sudah hampir satu jam menangis meraung-raung sambil berlari ke sana ke mari, mengejar teman-teman bermainnya yang terus meledek.

Mereka yang meledek tertawa terpingkal-pingkal dengan wajah pongah dan bangga, karena gadis kecil itu tak pernah bisa menyentuh mereka. Mereka adalah saudara-saudara sepupunya; memang memiliki postur tubuh lebih besar, dan memiliki usia lebih tua sekitar 1-2 tahun dari gadis kecil malang itu.

Entah bagaimana awal mulanya. Barangkali sesuatu telah menyentil perasaan gadis kecil ini, hingga pecah tangisnya. Dalam kesedihannya, teman-teman yang melihat dan mendengar keadaannya justru meledek, hingga emosi gadis kecil ini tak terbendung lagi. Meraung-raung, berguling-guling di tanah, dan berlari mengejar teman-temannya.

Padahal, kalau pun salah satu dari mereka bisa diraih, ia juga tak tahu akan diapakan tubuh orang yang membuatnya semakin jengkel dengan keadaan ini. Yang ada hanyalah “marah”, “jengkel”, “malu”….. Apalagi terlihat semakin banyak orang berdatangan melihatnya, tersenyum geli, bertepuk tangan akan aksi ngambek dirinya; tanpa ada yang berbelas kasih untuk menenangkannya. Jauh di lubuk hatinya, ada jeritan….. ”Mengapa tak ada yang peduli denganku?, Mengapa semua menertawakanku?”….

Dalam kelelahan dan sedu-sedan tangisnya, tiba-tiba gadis kecil itu merasakan ada yang membelai pelan kepalanya. Agaknya pertolongan yang dinanti telah datang. Suara lembut seorang lelaki muda berbadan tinggi.“Ayo…ikut Pakdhe Raksasa….” kata laki-laki itu menghibur, sambil mengulurkan kedua tangannya.

Sedikit ragu gadis kecil itu menerima uluran tangan “Pakdhe Raksasa”. Ia mulai tenang, meski masih sesenggukan. Sejurus kemudian, gadis kecil sudah berada di gendongan Pakdhe Raksasa, nyaman di atas pundak laki-laki tinggi itu, dan melenggang pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang tadi menontonnya, juga sepupu-sepupunya yang seketika diam mengejek, karena pertunjukan telah habis.

“Nah….kamu sekarang tinggi kan di atas pundak Pakdhe Raksasa?” Sang Pakdhe terus menghibur di sepanjang perjalanan menuju rumah kakek. Gadis kecil mulai gembira dan tersenyum.“Ayo Pakdhe…! Lebih kencang jalannya…. kayak kuda…!” teriak gadis kecil riang.

Pakdhe Raksasa telah berhasil menghibur gadis kecil atas insiden yang sempat menderanya. Ia bersyukur lega, karena keponakan kecilnya tak lagi frustrasi dan sedih. Ia tahu, senyum dan tawa gadis kecil merupakan tanda terima kasih yang tak terkira banyaknya, atas sebuah pengertian. Empati yang begitu indah. Meski peristiwa dipermalukan di depan umum tadi ternyata akan sangat membekas di hati sang Gadis kecil, hingga ia tumbuh dewasa…., bahkan hingga peristiwa sedih itu telah berlalu 27 tahun silam.

(Karena gadis kecil itu adalah diriku…^_^. Dan Pakdhe Raksasa itu adalah pamanku, yang mungkin beliau sendiri telah lupa kejadiannya. Terima kasih… Pakdhe Raksasa, aku akan berusaha menjaga perasaan anak-anak kecil, karena luka mereka di masa kanak-kanak ternyata bisa mendatangkan trauma…)

eramuslim

Antara Amrozi, Anakku, dan Dzikrul Maut

Kurang lebih 6 tahun yang lalu, anakku telah mengenal Amrozi. Tepatnya “nama” Amrozi. Waktu itu Wafdan baru berumur 3 tahun-an. Bukan berarti karena di usia sehijau itu anakku telah gemar menyimak berita di televisi. Berbagai media memang tengah gencar-gencarnya mengulas aksi pengeboman di Bali; aksi memalukan yang mencoreng Islam.

Hampir semua orang seketika familiar dengan nama Amrozi. Biasanya setiap disebut nama Amrozi, sontak orang akan berfikir tentang Bali, bom, terorisme…bla.. bla bla ..Namun bila nama Amrozi disebut di depan anakku, ia akan langsung berfikir: singa. Kenapa demikian?!?

Karena memang setahu dia, Amrozi itu adalah nama seekor singa. Waktu itu memang Wafdan kecil yang lagi senang-senangnya dengan aneka binatang; kami ajak berwisata ke Taman Safari. Ia begitu terhibur dengan atraksi singa dan Sang Pawang yang memberi nama binatang kesayangannya dengan nama Amrozi. Rupanya Si Pawang latah juga dengan memberi nama yang sedang tenar pasca kejadian bom Bali.Beberapa tahun lamanya anakku masih lekat dengan image bahwa Amrozi adalah seekor singa jantan yang begitu mengesankan di arena pertunjukan.

Hingga akhirnya, beberapa hari lalu; setelah sebelumnya berita tentang Amrozi cs redup dan muncul lagi secara bertubi-tubi; karena konon eksekusi akan segera dilakukan. Wafdan yang kini berumur hampir 9 tahun dan sudah mulai gemar menyimak berita; kembali terjejali dengan nama Amrozi karena nyaris tiap hari mendengar dan menyaksikan beritanya. Namun kini dengan image yang berbeda.Sekarang sama dengan persepsi orang kebanyakan tentang Amrozi: seorang terpidana mati atas tuduhan terorisme.

Wafdan jadi sering bertanya: “Amrozi sudah dihukum mati belum, Mi?” Demikian pertanyaan yang kerap diulang-ulang. Setiap hari, bahkan mungkin sehari bisa tiga kali. Paling aku tersenyum dan menjawab “Belum”. Dalam fikiranku sendiri, ada tanda tanya. Kenapa berita tentang eksekusi mati Amrozi cs begitu menarik dalam fikiran anak seusianya….. Secara iseng aku balik bertanya kepada Wafdan: “Bagaimana perasaanmu jika menjadi Amrozi; yang akan dihukum mati?”

Ternyata jawaban yang tak terduga keluar dari mulutnya: “ Ya….alhamdulillah….”“Kok?!?” sahutku kemudian.“Kan paling-paling, sakitnya sedikit waktu ditembak. Habis itu masuk surga” jawabnya tegas.Ha? Aku sedikit kaget, campur geli namun takjub juga.Kaget karena jawaban tegasnya tentang rasa syukur jika dihukum mati. Padahal aku mengumpamakan dia sebagai Amrozi; dengan kata lain bagaimana jika ia yang menghadapi hukuman mati itu. Jangan-jangan, anakku menyimak dengan detil setiap kata-kata semangat yang dilontarkan oleh Amrozi bila muncul di layar kaca.Geli; karena ekspresinya yang lucu. Seolah tanpa beban bila maut di depan mata.Dan aku pun takjub; karena setelah kuhayati, ternyata anakku ini memang sangat peka, kritis, dan menyimak setiap peristiwa yang berkaitan dengan dzikrul maut.

Bukan hanya peristiwa yang berkaitan dengan Amrozi. Pernah ketika kami melewati kompleks pemakaman Pondok Ranggon, yang kebetulan setiap hari dilalui bila kami menuju sekolah Wafdan; aku tak menyangka Wafdan berkata:“Umi, kalau aku meninggal, aku pengin yang di bawah pohon itu ya!” Dengan sedikit terkejut aku jawab: “Emang kenapa?”“Soalnya Wafdan nggak mau kepanasan di dalam kubur. Kan kalau atasnya ada pohon jadi sejuk..”

Itulah anak-anak…. Perkataannya sering spontan, tak terduga, namun ternyata sangat mungkin untuk diambil hikmahnya. Kalimat yang begitu menyentilku untuk lebih merenung. Tentang kematian, yang pasti ‘kan datang. Kata-kata yang mendorongku untuk terus belajar, mencari jawaban yang benar dan kemudian memacu diri untuk berbuat positif demi masa depan nan abadi. Sebuah support untuk aku bisa berupaya memberikan jawaban yang tepat bila ada lagi pertanyaan-pertanyaan kritis dari anakku, bahkan dari yang lain. Tak hanya tentang kematian, juga tentang kehidupan.

Terima kasih, Nak… Ummi banyak belajar darimu. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba yang mendapat rahmat-Nya kelak, di hari akhir nanti. Amin.

eramuslim.com

Muhasabah Hari Ini

01 Maret 2007

Dalam perenunganku kali ini, masih terngiang taushiyah dari salah seorang guru dan sahabatku:"Hendaknya kita berani 'beda' dalam lingkungan yang tidak islami dan menunjukkan ciri khas kita; karena memang seharusnya ada bedanya antara orang yang telah lama mengenyam tarbiyah, dari pada orang yang belum mengenalnya"

Memang seharusnya demikian...kata lubuk hatiku yang terdalam. Seorang ikhwah yang telah sekian lama mengikuti gemblengan nilai-nilai illahiah dalam perjalanan tarbiyah, tentu sedikit-banyak terwarnai dengan pola/karakter yang memang diharapkan terbentuk melalui proses perjalanannya.

Pribadi yang beriman, taqwa, smart, ikhlas, dan segudang lagi atribut bagi orang yang sukses dalam perjalanan tarbiyahnya. Sehingga pribadi semacam ini, akan selalu membawa dampak positif (kemashlahatan) bagi siap saja yang dekat atau mengenalnya. Setidaknya memberi keteladanan, bukan menggurui. Orang lain baik itu teman, sahabat, bahkan yang belum kenal sekali-pun akan menilai pribadi semacam ini sebagai good looking profile, good chatting person dan hingga akhirnya menjadi good prototype person. Ia akan diikuti dan ditiru untuk hal-hal yang mulia.

Upps... aku menjadi malu pada diri sendiri. Rasanya belum ada ciri-ciri pribadi harapan tarbiyah yang membekas pada diriku. Untuk bertahan dari arus yang melunturkan banyak idealisme-ku ternyata amat sulit. Terkadang aku merasa larut dalam suasana yang banyak membuatku lalai dari koridor semestinya.

Bagaiman aku bisa berkiprah untuk memberi yang terbaik bagi sekelilingku?Astaghfirullah. Setidaknya, aku harus berusaha. Step by step, menata lagi perjalananku ke depan. Menyayangi teman & sahabat yang ada di sekitarku, dengan ketepatanku bersikap & bertingkah-laku. Bukan menggurui, tapi memberi contoh.

Dimulai dari memperbaiki diri. Amin.

Nuansa Baru, Semangat Baru

20 Desember 2007

Untuk yang kesekian kalinya, aku beganti kelompok pertemuan. Penyesuaian lagi, dengan teman-teman baru dan beberapa teman lama yang duli pernah satu kelompok juga. Tapi hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Karena memang wajar terjadi pengaturan kelompok oleh murabbi dengan pertimbangan-pertimbangan untuk kemashlahatan tentunya.

Yang pasti harapan baru muncul, semoga semangatku khususnya semakin bertambah untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu dalam sisi kualitas pertemuan.Terkadang program yang digulirkan hanya menjadi sekedar rancangan, tanpa realisasi yang jelas. Perlu kesungguhan dari tiap anggota untuk menjadi motivator pelaksanaan dan evaluasi program.

Kenyataan yang lazim terjadi, para anggota saling menunggu reaksi dan hanya menyimpan di hati keinginan untuk mendisiplinkan penerapan program. Boleh jadi karena tiap anggota masing-masing merasa masih kurang dalam hal pencapaian target, khususnya untuk program pribadi.

Demi kelancaran dan kesuksesan halaqoh, akan kucoba untuk terus mengingatkan diri dan kelompok untuk pelaksanaan program yang telah dicanangkan. Meski untuk target program pribadi-ku sendiri terkadang masih jauh dari minimal pencapaian. Sering terengah-engah, ditengah kesibukan membagi waktu dengan pekerjaan rumah, kantor, anak-anak...
(Ah! bisa jadi ini hanya kambing hitamku sendiri)
Bismillah...

9.4.08

Mencintaimu Karena Allah SWT



Apa yang engkau rasakan di hari ini, suamiku? Masih samakah dengan sembilan tahun yang lalu, ketika pertama kali kita bersanding sebagai raja dan ratu sehari? Seusai ijab qabul yang engkau ucapkan dengan mantab, namun terdengar begitu syahdu di telingaku; sehingga tak kuasa ku menahan uraian air mata… Tentu bukan kesedihan yang menggelayuti batinku. Air mata syukur karena saat itu, Allah SWT telah menakdirkanmu menjadi pendampingku.

Mulai saat itu, bersama kita mengarungi samudera di dalam bahtera rumah tangga. Banyak kejutan-kejutan, yang berasa pahit dan manis. Karena sebelumnya engkau bukanlah siapa-siapa, namun tiba-tiba menjadi pemandu hidup yang mesti aku patuhi.

Ternyata tak gampang melakukan segala apa yang telah aku ‘azamkan sebelumnya. Siapa yang tak ingin menjadi isteri sholihah. Mampu menerima dengan ikhlas segala kelebihan dan kekurangan suami. Membaktikan diri sepenuh hati kepada suami, untuk meraih ridho Illahi? Tentu setiap wanita mendambakannya. Demikian juga dengan diriku… Namun aku belum yakin benar, apakah gelar mulia itu telah pantas engkau anugerahkan kepadaku.Tak bisa kupungkiri, betapa masih banyak tingkah kekanakan-ku membuat gundah hatimu. Sering nasihatmu kusambut dengan paras kecut, sedih, bahkan dengan berlari meninggalkanmu.

Tapi percayalah.., bukan karena aku tak patuh kepadamu, melainkan karena begitu rapuhnya diriku yang belum siap dengan pola yang engkau terapkan. Engkau dibesarkan dalam keluarga yang begitu lugas dan keras. Jauh berbeda dengan segala didikan yang sebelumnya kualami… Aku yakin, suatu saat aku akan menjadi lebih tegar dan mampu menjadi sosok yang engkau harapkan.

Suamiku…sembilan tahun sudah berlalu. Tiga orang buah hati telah hadir di tengah-tengah kita. Anugerah dari-Nya yang teramat berarti, mengisi lembaran-lembaran kehidupan kita berdua. Mereka begitu indah menorehkan kisah-kisah sedih dan gembira. Ada persaudaraan yang tulus, ada pula pertengkaran-pertengkaran yang menguji kesabaran kita. Menguji keadilan dan kearifan kita sebagai orangtua.

Setelah sekian lama kita bersama, sudahkah kita saling mengenal? Adakah engkau bahagia hidup bersamaku? Setidaknya senantiasa muncul dari lubuk hatiku, untuk lebih dan lebih mengenalmu. Untuk terus dan terus menambah baktiku. Supaya dapat aku menjadi seorang yang engkau terima dengan ikhlas. Supaya dapat kita seiring sejalan menjaga dan mendidik anak-anak kita. Agar kelak, kita dapat mempertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemberi Amanah. Dan…betapa inginnya hatiku, jika aku-lah yang menjadi bidadarimu di negeri abadi… Amin.

Suamiku, dengan tulus kuucapkan…., aku mencintaimu karena Allah SWT di ulang tahun ke sembilan pernikahan kita.

20.3.08

Bukan Sembarang Ayah


Aku mengagumi sosoknya. Seorang pria yang sangat cermat dan hati-hati dalam membimbing anak-anaknya. Untuk segala urusan baik kesehatan, pendidikan agama, pendidikan formal, sosialisasi, bakat, bahkan sampai urusan perasaan; diusahakan untuk memberikan “yang terbaik”. Padahal, semua yang ia berikan bukanlah sesuatu yang pernah ia dapatkan. Bahkan saking sayangnya kepada anak-anak, terkadang menjadi bias antara memberikan yang terbaik, dengan sikap memanjakan. Untuk hal yang satu ini, aku berusaha untuk selalu mengingatkan. Barangkali sikapnya ini merupakan pelepas dahaga, untuk kehausan akan hal-hal yang belum diperolehnya di masa lalu, dari ayahnya sendiri.

Mula-mula aku kurang percaya dengan cerita-ceritanya. Namun setelah untuk ke-sekian kalinya ia mengatakan hal yang sama, aku mulai yakin bahwa pria ini tidak mengada-ada.
“Ayah menyuruhku untuk mengangkat jemuran ketika hujan tiba-tiba turun. Buru-buru aku kerjakan perintahnya; eh…tanpa disangka ayah bertanya kepadaku, berapa jumlah pakaian yang tadi dijemur. Karena aku tak bisa menjawab, ia menyuruhku menjemur lagi dan menghitungnya.”

Ada juga cerita lainnya yang tak kalah menarik untuk disimak:
“Ketika aku dan kakak ketahuan bertengkar, ayah pasti lalu menyidang kami. Secara bergantian kami menceritakan pembelaan diri masing-masing. Pihak yang menurut ayah salah, mendapat hukuman yang lumayan berat” ucapnya.
“Hukuman apa itu?” tanyaku penasaran.
“Yang jelas hukuman fisik. Misalnya, mulut kami di “jepret” dengan karet gelang” jawabnya.
“Sakit dong..” lanjutku menimpali.
“Yah…paling bibir bengkak” jawabnya sambil merapatkan bibir atas-bawahnya, seolah-olah masih merasakan nyeri. Ia tersenyum kecut. Wajahnya menerawang membayangkan kenangan masa lalu bersama ayahnya. Ia melanjutkan dengan cerita hukuman-hukuman yang biasa dijatuhkan kepadanya dan juga kepada kakak-adiknya bila ada hal-hal yang kurang berkenan di hati ayah. Sialnya, setiap waktu selalu saja ada kesalahan-kesalahan mereka; dan pastinya hukuman akan dirasakan, lagi dan lagi.

Ia adalah seorang pria, yang dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan sepuluh orang bersaudara. Didikan dari orangtuanya, terutama dari Sang Ayah telah begitu dalam menorehkan kenangan, baik pahit maupun manis. Agaknya kenangan pahit menggores sangat dalam bahkan sanggup mengisi mimpi-mimpi tidurnya sampai saat ini, di usianya yang sudah berkepala tiga.
“Belum pernah aku bermimpi tentang ayah, selain ia memarahiku, dan menganggap apa yang kulakukan pasti tak benar di matanya!” suatu ketika ia bercerita, ketika waktu itu dengan terpaksa kubangunkan dari tidur saat mengigau mengerang-erang dan sedikit berteriak.
Namun dari beberapa ceritanya tentang Sang Ayah, dapat kutangkap pula sorot mata kebanggaan dan kekaguman luar biasa terhadap sosok ini. Baginya, kerasnya didikan ayah telah menggembleng ia dan saudara-saudarinya menjadi orang-orang yang kuat dan tegar.

Bersama kakak-adik, ia sebagai anak ke delapan sejak masih usia belia telah mengalami didikan over disiplin baik dalam urusan sekolah, agama dan pekerjaan. Masing-masing sejak kecil dituntut untuk mandiri dalam urusan belajar dan sekolah. Selain itu, tiap anak di keluarganya adalah karyawan yang sangat patuh kepada atasannya, tak lain adalah ayah mereka sendiri.
Toko kelontong yang dimiliki keluarganya, merupakan satu-satunya sumber penghasilan untuk kesejahteraan mereka. Mungkin bila toko kelontong biasa, tak perlu menguras pemikiran dan membutuhkan banyak karyawan untuk mengoperasikan usahanya. Namun toko kelontong mereka memiliki produk unggulan yang membutuhkan karyawan-karyawati dengan keahlian khusus.

Ya, susu kambing yang menjadi produk unggulan mereka, diambil dari hasil memerah sendiri kambing-kambing ternak di belakang rumah. Susu kambing yang bisa langsung dinikmati di toko tersebut, diramu secara khusus dengan menambahkan jahe, madu, telur ayam kampung dan berbagai jenis jamu. Produk ini memang paling mendatangkan omset terbesar, sementara barang-barang dagangan lain akan ikut laku terjual seiring dengan banyaknya pelanggan susu yang datang. Atas karunia Allah SWT, bisa dikatakan, ia dan sembilan saudaranya hidup dan jadi orang, melalui berkah susu kambing tersebut.

“Sejak TK, aku sudah dilatih dan mendapat tugas dari ayah untuk memberi makan ternak secara rutin. Semakin besar, tugas juga semakin banyak dan berat. Dari memerah susu, belanja jahe minimal 2 kwintal, menggiling jahe dengan mesin sederhana, mencari pakan ternak, membersihkan kandang, membantu kambing beranak,…bla-bla-bla…”, ucapnya sambil tersenyum bangga.

Semakin aku menyelami kisah perjalanan masa lalunya, semakin aku mengenal sosok tegar pria ini. Banyak sekali kejadian-kejadian yang langka dialami oleh orang lain seusianya.
Sikap keras dan disiplin yang diterapkan, telah menjadi pola tersendiri bagi semua anggota keluarga. Rasa hormat yang lebih mengarah ke perasaan takut, dapat tercermin dari sikap anak-anaknya yang langsung mengkerut begitu mendengar suara ‘dehem’ Sang Ayah yang khas… Misalnya mereka sedang sedikit bersantai, begitu mendengar suara khas ayah mereka, spontan semuanya akan bergerak untuk beraktivitas sebaik-baiknya, demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan.Alhamdulillah… Pengalaman masa lalu pria ini tidak serta merta menjadi acuan dalam memperlakukan anak-anaknya.

Satu hal yang paling saya kagumi darinya, adalah bagaimana ia bisa mengambil hikmah dari setiap perlakuan keras Sang Ayah di masa lalu. Yang baik ditiru dan diterapkan, sementara yang kurang baik dibuang jauh-jauh, jangan sampai anak-anaknya merasakan kesedihan yang sama.
Ketika kutanya, kenapa ia bisa demikian bijak dalam mendidik anak-anak; jawabannya adalah, karena ia tak ingin menjadi sembarang ayah. Anak-anak adalah amanah dari Allah SWT. Menjaga sebaik-baiknya amanah itu merupakan perintah Allah dan selalu dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah sangat sayang dan berbudi santun kepada anak-anak. Perasaan mereka masih sangat halus, bersih dan lembut. Sesuatu kebaikan akan menorehkan kebaikan pula dalam hati mereka. Sebaliknya, keburukan sikap akan menggores sangat dalam dan meninggalkan luka.

Demikian prinsip pria ini, yang membuatku larut dalam rasa syukur yang tak terkira. Aku akan terus berlatih meniru kebaikannya, dan mencoba saling mengoreksi bila ada hal yang kurang tepat bagi pendidikan anak-anak kami. Karena pria luar biasa ini, adalah suamiku.

21.2.08

Sebuah Nasihat untuk Menata Sikap



“Ada kalanya kita tak perlu memberitahukan sesuatu kepada pasangan kita, jika hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan yang tidak baik”; demikian kata suamiku suatu ketika. Waktu itu aku tidak serta merta mengiyakan pernyataannya, ataupun sekadar mengangguk menandakan persetujuanku akan ucapannya. Meski dalam hati kecil mengakui, mungkin ada benarnya juga.

Aku masih mengernyitkan dahi, mencoba mencermati kalimat demi kalimat yang selanjutnya mengalir dari bibirnya. Sambil menghubung-hubungkan pernyataannya dengan sekelumit peristiwa yang terjadi saat itu. Ya, sebuah peristiwa yang mungkin perkara kecil dan sepele yang banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga siapa pun.
Bermula ketika aku menjawab sebuah panggilan dari ponsel suamiku yang beberapa kali berdering, saat ia sedang pergi ke masjid bersama kedua putra kami. Seorang pria ingin berbicara dengan suamiku. Ternyata teman kantornya. Segera kuberitahukan bahwa suamiku sedang pergi tanpa membawa HP. Setelah itu pembicaraan kami-pun selesai dan terdengar di seberang sana nada komunikasi sudah dihentikan.

Biasanya aku segera meletakkan kembali benda kecil itu ke tempat semula. Namun entah mengapa, saat itu aku begitu tergelitik untuk membuka-buka file dalam ponselnya. Aku melakukannya dengan santai, karena menurutku, suami-pun bebas membuka-buka file dalam ponselku.

Perasaan santaiku sedikit terganggu dengan beberapa inbox pesan dari sebuah nama yang belum kukenal. Nama seorang wanita. Segera kubuka salah satu pesan dari inbox itu, yang membuat perasaanku semakin penasaran dan agak gusar.
“Mas, btw (by the way) curhatku yang tadi itu jangan dikasih tahu ama siapa2 ya? Ocre?!?” demikian bunyi pesan singkat itu. Beberapa pesan lain dari orang yang sama, yang dikirim dalam beberapa hari ini sempat kubaca pula. Semuanya menggunakan ‘bahasa gaul’ yang aku sendiri merasa aneh bila memakai kata-kata seperti itu.

Aku heran, ada seorang wanita yang begitu akrab dengan suamiku dan aku belum mengenalnya, bahkan mendengar namanya. Biasanya aku mengenal baik teman-temannya meski hanya sekadar nama. Aku dan suami biasa bertukar cerita tentang keseharian kami di kantor masing-masing dan tanpa terasa aku mengenal hampir semua nama teman-temannya, sebagaimana pula ia mengenal teman-teman kerjaku. Namun untuk nama yang satu ini tidak…
Lebih herannya, ketika kubuka file outbox suamiku yang selalu membalas pesan-pesan tadi dengan gaya bahasa yang nyaris sama. Aku hampir tak percaya!

Aku menghela nafas panjang, mencoba menjernihkan fikiran dan berusaha mendudukkan permasalahan ini tanpa mengikuti hawa emosi. Aku memutuskan akan segera meminta penjelasan mengenai hal yang tak wajar ini, dalam situasi yang memungkinkan.
Seperti yang telah kuduga, suami menyatakan bahwa wanita tadi adalah teman sekantornya. Selanjutnya ia berkata bahwa aku jangan termakan dengan kata ‘curhat’, karena wanita tadi hanya mengeluh soal pekerjaan kator. Untuk masalah bahasa yang menurutku terlalu gaul, suami mencoba meyakinkanku bahwa ia adalah Anak Jakarta yang memang bahasanya seperti itu dengan siapa saja, sementara suamiku hanya mencoba mengimbangi.

Penjelasannya terus mengalir, sementara fikiranku tak lagi fokus kepadanya, karena aku memutuskan untuk segera menghentikan pembicaraan ini.
“Ya sudah deh, Mas… Kalau hanya mengeluh mengenai pekerjaan kantor. Khawatirnya akan merembet ke hal-hal lain. Aku cuma ingin kita saling mengingatkan. Kan aku sayang suami…”. Aku menutup pembicaraan sambil tersenyum, meyakinkannya bahwa aku selalu berusaha mempercayai ucapannya. Senantiasa memberikan kepercayaan akan kesetiaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami yang sholih.

Meski masih begitu banyak pertanyaan di kepalaku yang campur aduk membutuhkan jawaban yang tepat, aku perlu menenangkan diri. Semoga aku bisa mengambil hikmahnya atau juga bisa berinterospeksi melalui masalah ini.

Dalam kesendirianku, kucoba merenungi tapak demi tapak langkah perjalanan rumah tangga kami. Hampir sembilan tahun sudah kami bersama meniti hari-hari. Dalam kurun waktu tersebut kami saling berbagi dan melengkapi. Sebagaimana sebuah bahtera yang mengarungi samudera. Perjalanan kami-pun tak luput dari riak-riak gelombang, atau bahkan badai yang bisa saja menenggelamkan kami atau memecah dan memisahkan kami. Tentu hanya karena kehendak Allah SWT dan pertolongan-Nya, kami masih mampu menghadapi setiap badai yang datang. Tentu saja dengan ikhtiar kami untuk saling memahami, menghormati dan juga mempercayai satu dengan yang lain.

Suamiku adalah orang yang sholih. Keyakinan itu tertanam dalam hatiku dan tidak begitu saja muncul, melainkan sedikit demi sedikit tumbuh subur seiring tahapan-tahapan langkah perjalanan kami. Pengetahuan agama-nya jauh lebih luas dariku. Hafalan-nya juga lebih banyak. Selain rajin ke masjid, beberapa waktunya juga dipergunakan untuk melakukan aktivitas mengajar Al Quran dan pengetahuan agama kepada para ibu dan bapak di masyarakat. Di lingkungan kami, ia sudah biasa mendapat julukan ustadz, dan tak banyak yang tahu kalau suamiku itu bekerja di sebuah lembaga dalam naungan Departemen Keuangan. Kebanyakan orang mengira suamiku bekerja di Depag, atau bahkan di KUA…

Suamiku juga orang yang sangat bertanggung jawab dalam mendidik putera-puteri kami. Menanamkan kedisiplinan melalui sholat jamaah di masjid, rajin mengajari dan memantau hafalan surat Al Qur’an, mengajak bermain, hingga memandikan dan menyuapi mereka, juga masih banyak lagi kelebihannya di mataku.
Karena itulah aku lumayan terkejut menemukan kalimat-kalimatnya dalam pesan singkat tadi. Seperi bukan dia! Mungkin suamiku sedang khilaf, meski alasannya hanya untuk mengimbangi Si Pengirim pesan yang selalu menggunakan bahasa gaul dalam kesehariannya. Bukankah kita bisa menyenangkan hati orang dengan cara kita sendiri yang lebih baik, tanpa musti larut mengikuti cara dan gaya yang sama dengannya.
Boleh jadi kita bertindak untuk menyenangkan hati orang lain tanpa bermaksud mengarah kepada hal yang dilarang oleh agama. Namun, siapa yang bisa menjamin orang lain itu tak akan salah faham dengan sikap yang kita tunjukkan. Apalagi jalan untuk masuknya syaithan terbuka lebar, melalui pergaulan di tempat kerja yang tidak ada pembatas antara muhrim dengan non muhrim.

Sejak peristiwa itu, aku tak lagi menemukan pesan-pesan singkat dari wanita itu di ponsel suamiku, bahkan pesan-pesan dari siapapun. Baik inbox maupun outbox-nya selalu kosong. Tentu suamiku telah lebih dulu menghapus file-file dalam ponselnya. Sesuai dengan pernyataannya bahwa ada beberapa hal yang sebaiknya aku tak perlu tahu, demi kebaikan…
Meski demikian aku sudah lebih lega, telah mengkomunikasikan ketidaksetujuanku akan suatu hal. Aku sudah berusaha untuk saling mengingatkan demi kebaikan. Aku telah mempercayainya dan selalu memupuk kepercayaan itu dengan begitu banyak kebaikan dirinya. Hanya pengharapan bahwa Allah SWT-lah yang akan menjaga suamiku, dan selalu membimbing langkah perjalanan kami menuju ridho-Nya.

Melalui masalah ini, kini aku bersyukur … karena menemukan sebuah nasihat bahwa aku-pun perlu menata sikap dan perilaku. Setidaknya di tempat kerjaku sendiri. Karena keberadaan diri kita, bila tidak dibekali dengan keimanan kuat dan keikhlasan untuk mencari ridho-Nya, bisa mendatangkan fitnah yang merugikan diri sendiri dan orang lain.