15.12.08

Sejatinya Seorang Ibu

Betapa beruntungnya menjadi seorang ibu. Baginya terbentang pujian, penghormatan, dan kenangan istimewa dari tiap insan, karena setiap manusia terlahir dari "rahim" seorang ibu.

Rahim sendiri berarti kasih sayang; sepotong kata yang enak di dengar dan menentramkan. Begitu indah dan suci.

Sungguhlah tepat Allah SWT yang menganugerahi rahim dalam diri seorang ibu, menjadikannya sumber kasih sayang bagi mahluk mungil yang dilahirkannya, diasuh dan dibesarkan hingga dewasa, seterusnya bahkan sampai kapan pun jua. Kasih sayangnya akan terus mengalir. Dalam setiap doa dan pengharapan, ibu menginginkan yang terbaik bagi para buah hatinya.

Tugas ilahiah seorang ibu adalah tugas sesuai kodratnya. Sangat mulia dan berat, sehingga mustahil peran tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat tanpa adanya keselarasan jiwa seorang ibu dengan kodrat yang telah dianugerahkan oleh Yang Mahatahu. Jiwa suci penuh nur illahi seorang ibu, akan mengantarkan putra-putrinya pada kehidupan penuh kemuliaan, kebahagiaan, ketentraman lahir bathin.

Tengoklah sosok Anas bin Malik. Sentuhan nilai moral Sang Ibu (Rumaisha binti Milhan/Ummu Sulaim) semenjak Anas masih kecil, menjadikan putranya tersebut sangat mengenal dan mengasihi Rasulullah Muhammad SAW berikut ajaran beliau yang mulia meski belum pernah sekalipun bertemu muka dengan Rasulullah SAW. Kerinduan Anas untuk bertemu dengan Rasulullah begitu membuncah, meluap-luap.... hingga ketika tersiar khabar kedatangan beliau SAW ke Madinah, betapa bahagianya ia seolah tak sabar untuk berjumpa. Anas yang masih belia pun akhirnya membaktikan diri untuk melayani Rasulullah. Dan semenjak ia tinggal bersama Rasulullah SAW, Anas bin Malik menjadi salah seorang 'terhebat' dalam menghafal dan menyampaikan haditsnya.

Atau ingatkah kita dengan kisah empat kakak beradik yang gugur dalam peperangan membela Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab? Pemuda-pemuda gagah nan pemberani, menjadi mujahid melalui bimbingan seorang Khansa binti Amru. Ibu yang piawai melantunkan syair ini gemar mengobarkan semangat jihad melalui syair-syairnya. Maka tatkala mengetahui ke-empat putranya gugur di medan laga dengan kemenangan Islam gilang-gemilang, Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan:"Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!" Dari peristiwa peperangan itu pula Sang Ibu mendapat gelar kehormatan 'Ummu syuhada' .

Dua kisah tadi hanyalah wakil dari jutaan kisah hebat seorang ibu dalam membesarkan dan mendidik buah hatinya hingga menjadi insan mulia yang didambakan. Kita masih bisa menebarkan pandangan dan menemukan kisah-kisah mengagumkan dari seorang ibu yang mungkin tanpa kita sadari, berada di sekitar kita; bahkan pada diri ibunda kita sendiri.

Bayangkan petuah-petuahnya, yang meski sering kita bantah namun terus mengalir, demi menjaga kita. Atau aktivitasnya yang dulu kita anggap hal sederhana: menyiapkan keberangkatan kita ke sekolah, menemani belajar, membelikan jajan, memilihkan pakaian, memijat badan kita, memegang kening kita dengan penuh kecemasan. Ketika ibu marah, tak kan berlangsung lama..., dan setelah itu kasihnya akan jadi berlimpah ruah. Aduhai Ibu..., sungguh indah kenangan bersamamu. Sungguh tak pantas, bila kita tak berbuat baik kepadanya.

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاس بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Sebagai seorang anak, doa kita tentu sangat berharga bagi beliau; diiringi dengan perbuatan kita yang senantiasa diupayakan untuk kebahagiaannya, meski tak kan mampu membalas kebaikannya...

Jika pada masa kini kita menemukan sosok ibu yang memiriskan hati; segera perlu kita pertanyakan. Gerangan apa yang menyebabkan demikian?

Mengapa seorang ibu tega meninggalkan bayi mungilnya di sembarang tempat, atau bahkan menghilangkan nyawanya terlebih dahulu dengan cara yang biadab. Atau...menipu anak-anaknya dengan memberi minum susu yang terlebih dahulu diracuni; kemudian setelah buah hatinya menghadap Sang Pencipta, ia pun menghabisi sendiri kehidupannya?
Ada pula yang tega menghinakan darah dagingnya dengan menjual kehormatannya kepada para lelaki hidung belang. Ah.., ada apa dengan ibu-ibu seperti mereka?

Tentunya para ibu ini adalah wanita-wanita yang telah mencampakkan nilai-nilai ilahiah dari relung jiwa mereka. Nilai-nilai yang raib seiring dengan pudarnya kasih sayang yang murni. Nilai kasih sayang yang telah disimbolkan dengan rahim yang dianugerahkan kepadanya. Sehingga mereka memaknai kasih-sayang dengan cinta kasih semu yang menyesatkan. Mereka mengaku kasihan kepada anak-anak yang menurut persepsinya tak memperoleh kehidupan layak, kekayaan yang tak cukup. Hingga tega membunuh jiwa-jiwa mereka.

Untuk itu, wahai para ibu...
Allah SWT telah memuliakanmu, meninggikan derajatmu, dan menjadikan sosokmu sebagai simbol kasih sayang nan suci. Kasih sayang yang diilhami oleh nilai-nilai ketuhanan.

Kemuliaan yang dapat diraih hanya dengan menunaikan ketaatan pada-Nya. Menapaki mozaik-mozaik kehidupan dalam koridor yang diridhoi-Nya, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh suri teladan umat. Insya Allah..., kebahagiaan dunia akhirat kan menyertaimu.

(Berjuta kasih & bakti, untuk bundaku: Hj. Umi Rochmah)

Sebuah Empati yang Kunanti

Suatu hari, di sebuah desa tempat berlibur seorang gadis kecil; tepatnya di desa tempat tinggal kakeknya.Anak perempuan kecil itu (usia lima tahun-an) menangis sesenggukan dengan kelelahan. Air matanya telah habis, karena sudah hampir satu jam menangis meraung-raung sambil berlari ke sana ke mari, mengejar teman-teman bermainnya yang terus meledek.

Mereka yang meledek tertawa terpingkal-pingkal dengan wajah pongah dan bangga, karena gadis kecil itu tak pernah bisa menyentuh mereka. Mereka adalah saudara-saudara sepupunya; memang memiliki postur tubuh lebih besar, dan memiliki usia lebih tua sekitar 1-2 tahun dari gadis kecil malang itu.

Entah bagaimana awal mulanya. Barangkali sesuatu telah menyentil perasaan gadis kecil ini, hingga pecah tangisnya. Dalam kesedihannya, teman-teman yang melihat dan mendengar keadaannya justru meledek, hingga emosi gadis kecil ini tak terbendung lagi. Meraung-raung, berguling-guling di tanah, dan berlari mengejar teman-temannya.

Padahal, kalau pun salah satu dari mereka bisa diraih, ia juga tak tahu akan diapakan tubuh orang yang membuatnya semakin jengkel dengan keadaan ini. Yang ada hanyalah “marah”, “jengkel”, “malu”….. Apalagi terlihat semakin banyak orang berdatangan melihatnya, tersenyum geli, bertepuk tangan akan aksi ngambek dirinya; tanpa ada yang berbelas kasih untuk menenangkannya. Jauh di lubuk hatinya, ada jeritan….. ”Mengapa tak ada yang peduli denganku?, Mengapa semua menertawakanku?”….

Dalam kelelahan dan sedu-sedan tangisnya, tiba-tiba gadis kecil itu merasakan ada yang membelai pelan kepalanya. Agaknya pertolongan yang dinanti telah datang. Suara lembut seorang lelaki muda berbadan tinggi.“Ayo…ikut Pakdhe Raksasa….” kata laki-laki itu menghibur, sambil mengulurkan kedua tangannya.

Sedikit ragu gadis kecil itu menerima uluran tangan “Pakdhe Raksasa”. Ia mulai tenang, meski masih sesenggukan. Sejurus kemudian, gadis kecil sudah berada di gendongan Pakdhe Raksasa, nyaman di atas pundak laki-laki tinggi itu, dan melenggang pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang tadi menontonnya, juga sepupu-sepupunya yang seketika diam mengejek, karena pertunjukan telah habis.

“Nah….kamu sekarang tinggi kan di atas pundak Pakdhe Raksasa?” Sang Pakdhe terus menghibur di sepanjang perjalanan menuju rumah kakek. Gadis kecil mulai gembira dan tersenyum.“Ayo Pakdhe…! Lebih kencang jalannya…. kayak kuda…!” teriak gadis kecil riang.

Pakdhe Raksasa telah berhasil menghibur gadis kecil atas insiden yang sempat menderanya. Ia bersyukur lega, karena keponakan kecilnya tak lagi frustrasi dan sedih. Ia tahu, senyum dan tawa gadis kecil merupakan tanda terima kasih yang tak terkira banyaknya, atas sebuah pengertian. Empati yang begitu indah. Meski peristiwa dipermalukan di depan umum tadi ternyata akan sangat membekas di hati sang Gadis kecil, hingga ia tumbuh dewasa…., bahkan hingga peristiwa sedih itu telah berlalu 27 tahun silam.

(Karena gadis kecil itu adalah diriku…^_^. Dan Pakdhe Raksasa itu adalah pamanku, yang mungkin beliau sendiri telah lupa kejadiannya. Terima kasih… Pakdhe Raksasa, aku akan berusaha menjaga perasaan anak-anak kecil, karena luka mereka di masa kanak-kanak ternyata bisa mendatangkan trauma…)

eramuslim

Antara Amrozi, Anakku, dan Dzikrul Maut

Kurang lebih 6 tahun yang lalu, anakku telah mengenal Amrozi. Tepatnya “nama” Amrozi. Waktu itu Wafdan baru berumur 3 tahun-an. Bukan berarti karena di usia sehijau itu anakku telah gemar menyimak berita di televisi. Berbagai media memang tengah gencar-gencarnya mengulas aksi pengeboman di Bali; aksi memalukan yang mencoreng Islam.

Hampir semua orang seketika familiar dengan nama Amrozi. Biasanya setiap disebut nama Amrozi, sontak orang akan berfikir tentang Bali, bom, terorisme…bla.. bla bla ..Namun bila nama Amrozi disebut di depan anakku, ia akan langsung berfikir: singa. Kenapa demikian?!?

Karena memang setahu dia, Amrozi itu adalah nama seekor singa. Waktu itu memang Wafdan kecil yang lagi senang-senangnya dengan aneka binatang; kami ajak berwisata ke Taman Safari. Ia begitu terhibur dengan atraksi singa dan Sang Pawang yang memberi nama binatang kesayangannya dengan nama Amrozi. Rupanya Si Pawang latah juga dengan memberi nama yang sedang tenar pasca kejadian bom Bali.Beberapa tahun lamanya anakku masih lekat dengan image bahwa Amrozi adalah seekor singa jantan yang begitu mengesankan di arena pertunjukan.

Hingga akhirnya, beberapa hari lalu; setelah sebelumnya berita tentang Amrozi cs redup dan muncul lagi secara bertubi-tubi; karena konon eksekusi akan segera dilakukan. Wafdan yang kini berumur hampir 9 tahun dan sudah mulai gemar menyimak berita; kembali terjejali dengan nama Amrozi karena nyaris tiap hari mendengar dan menyaksikan beritanya. Namun kini dengan image yang berbeda.Sekarang sama dengan persepsi orang kebanyakan tentang Amrozi: seorang terpidana mati atas tuduhan terorisme.

Wafdan jadi sering bertanya: “Amrozi sudah dihukum mati belum, Mi?” Demikian pertanyaan yang kerap diulang-ulang. Setiap hari, bahkan mungkin sehari bisa tiga kali. Paling aku tersenyum dan menjawab “Belum”. Dalam fikiranku sendiri, ada tanda tanya. Kenapa berita tentang eksekusi mati Amrozi cs begitu menarik dalam fikiran anak seusianya….. Secara iseng aku balik bertanya kepada Wafdan: “Bagaimana perasaanmu jika menjadi Amrozi; yang akan dihukum mati?”

Ternyata jawaban yang tak terduga keluar dari mulutnya: “ Ya….alhamdulillah….”“Kok?!?” sahutku kemudian.“Kan paling-paling, sakitnya sedikit waktu ditembak. Habis itu masuk surga” jawabnya tegas.Ha? Aku sedikit kaget, campur geli namun takjub juga.Kaget karena jawaban tegasnya tentang rasa syukur jika dihukum mati. Padahal aku mengumpamakan dia sebagai Amrozi; dengan kata lain bagaimana jika ia yang menghadapi hukuman mati itu. Jangan-jangan, anakku menyimak dengan detil setiap kata-kata semangat yang dilontarkan oleh Amrozi bila muncul di layar kaca.Geli; karena ekspresinya yang lucu. Seolah tanpa beban bila maut di depan mata.Dan aku pun takjub; karena setelah kuhayati, ternyata anakku ini memang sangat peka, kritis, dan menyimak setiap peristiwa yang berkaitan dengan dzikrul maut.

Bukan hanya peristiwa yang berkaitan dengan Amrozi. Pernah ketika kami melewati kompleks pemakaman Pondok Ranggon, yang kebetulan setiap hari dilalui bila kami menuju sekolah Wafdan; aku tak menyangka Wafdan berkata:“Umi, kalau aku meninggal, aku pengin yang di bawah pohon itu ya!” Dengan sedikit terkejut aku jawab: “Emang kenapa?”“Soalnya Wafdan nggak mau kepanasan di dalam kubur. Kan kalau atasnya ada pohon jadi sejuk..”

Itulah anak-anak…. Perkataannya sering spontan, tak terduga, namun ternyata sangat mungkin untuk diambil hikmahnya. Kalimat yang begitu menyentilku untuk lebih merenung. Tentang kematian, yang pasti ‘kan datang. Kata-kata yang mendorongku untuk terus belajar, mencari jawaban yang benar dan kemudian memacu diri untuk berbuat positif demi masa depan nan abadi. Sebuah support untuk aku bisa berupaya memberikan jawaban yang tepat bila ada lagi pertanyaan-pertanyaan kritis dari anakku, bahkan dari yang lain. Tak hanya tentang kematian, juga tentang kehidupan.

Terima kasih, Nak… Ummi banyak belajar darimu. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba yang mendapat rahmat-Nya kelak, di hari akhir nanti. Amin.

eramuslim.com

Muhasabah Hari Ini

01 Maret 2007

Dalam perenunganku kali ini, masih terngiang taushiyah dari salah seorang guru dan sahabatku:"Hendaknya kita berani 'beda' dalam lingkungan yang tidak islami dan menunjukkan ciri khas kita; karena memang seharusnya ada bedanya antara orang yang telah lama mengenyam tarbiyah, dari pada orang yang belum mengenalnya"

Memang seharusnya demikian...kata lubuk hatiku yang terdalam. Seorang ikhwah yang telah sekian lama mengikuti gemblengan nilai-nilai illahiah dalam perjalanan tarbiyah, tentu sedikit-banyak terwarnai dengan pola/karakter yang memang diharapkan terbentuk melalui proses perjalanannya.

Pribadi yang beriman, taqwa, smart, ikhlas, dan segudang lagi atribut bagi orang yang sukses dalam perjalanan tarbiyahnya. Sehingga pribadi semacam ini, akan selalu membawa dampak positif (kemashlahatan) bagi siap saja yang dekat atau mengenalnya. Setidaknya memberi keteladanan, bukan menggurui. Orang lain baik itu teman, sahabat, bahkan yang belum kenal sekali-pun akan menilai pribadi semacam ini sebagai good looking profile, good chatting person dan hingga akhirnya menjadi good prototype person. Ia akan diikuti dan ditiru untuk hal-hal yang mulia.

Upps... aku menjadi malu pada diri sendiri. Rasanya belum ada ciri-ciri pribadi harapan tarbiyah yang membekas pada diriku. Untuk bertahan dari arus yang melunturkan banyak idealisme-ku ternyata amat sulit. Terkadang aku merasa larut dalam suasana yang banyak membuatku lalai dari koridor semestinya.

Bagaiman aku bisa berkiprah untuk memberi yang terbaik bagi sekelilingku?Astaghfirullah. Setidaknya, aku harus berusaha. Step by step, menata lagi perjalananku ke depan. Menyayangi teman & sahabat yang ada di sekitarku, dengan ketepatanku bersikap & bertingkah-laku. Bukan menggurui, tapi memberi contoh.

Dimulai dari memperbaiki diri. Amin.

Nuansa Baru, Semangat Baru

20 Desember 2007

Untuk yang kesekian kalinya, aku beganti kelompok pertemuan. Penyesuaian lagi, dengan teman-teman baru dan beberapa teman lama yang duli pernah satu kelompok juga. Tapi hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Karena memang wajar terjadi pengaturan kelompok oleh murabbi dengan pertimbangan-pertimbangan untuk kemashlahatan tentunya.

Yang pasti harapan baru muncul, semoga semangatku khususnya semakin bertambah untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu dalam sisi kualitas pertemuan.Terkadang program yang digulirkan hanya menjadi sekedar rancangan, tanpa realisasi yang jelas. Perlu kesungguhan dari tiap anggota untuk menjadi motivator pelaksanaan dan evaluasi program.

Kenyataan yang lazim terjadi, para anggota saling menunggu reaksi dan hanya menyimpan di hati keinginan untuk mendisiplinkan penerapan program. Boleh jadi karena tiap anggota masing-masing merasa masih kurang dalam hal pencapaian target, khususnya untuk program pribadi.

Demi kelancaran dan kesuksesan halaqoh, akan kucoba untuk terus mengingatkan diri dan kelompok untuk pelaksanaan program yang telah dicanangkan. Meski untuk target program pribadi-ku sendiri terkadang masih jauh dari minimal pencapaian. Sering terengah-engah, ditengah kesibukan membagi waktu dengan pekerjaan rumah, kantor, anak-anak...
(Ah! bisa jadi ini hanya kambing hitamku sendiri)
Bismillah...