1.4.07

Bekal Untuk Malam Pertama




"Wahai pemuda gagah yang bergelimang harta dan sejuta asa, apakah engkau telah bersiap-siap menghadapi malam pertama? Wahai orang tua yang telah bongkok punggung dan dekat ajalnya, apakah engkau telah bersiap-siap menghadapi malam pertama?



Ia adalah malam pertama dengan dua wajah; mungkin menjadi malam pertama bagi malam-malam surga berikutnya, Atau menjadi malam pertama bagi malam-malam neraka selanjutnya. " (Dr. Aidh Al-Qarni)


Kembali aku tercenung menyimak baris demi baris untaian kata dari puisi Dr. Aidh Al-Qarni (semoga Allah merahmatinya) dalam buku yang berjudul Malam Pertama di Alam Kubur.

Belum lama ini, sahabat kami benar-benar telah mengalami peristiwa "Malam Pertama" tersebut; setelah beberapa waktumenempuh ikhtiar dengan berobat secara medis maupun alternatif. Kami hanya bisa berucap inna lillahi wa inna ilaihi roji'un..


Pak Marzuki adalah seorang guru yang masih muda, usia kepala tiga. Ia memiliki kepribadian dan hubungan yang baik di mata kami semua. Dari beberapa ungkapan bela sungkawa, ternyata hampir setiap orang merasa kehilangan, baik sesama teman guru, maupun anak-anak didiknya. Bahkan seorang anak kelas 1 yang baru beberapa kali bertatap muka dengannya-pun sempat berkaca-kaca mendengar berita ini.


Sehari sebelumnya, teman-teman kami menjenguknya di rumah sakit. Nampak sekali dia tengah kesakitan. Saat itu, sakaratul maut telah mulai menghampiri. Betapa nampak peristiwa yang amat berat harus dilaluinya, ketika berjuang untuk mengucapkan kata-kata Allah, Allahu Akbar...



Kini ia telah menghadap kepada Pemilik Sejati. Semoga Allah SWT meridhoi dan memberi ampunan kepadanya.


Di kantor kami, peristiwa meninggalnya Pak Marzuki menjadi pelajaran yang amat berharga. Kami jadi berintrospeksi dan merenung, orang yang begitu baik seperti dia-pun, di saat ajal hampir menjelang ternyata tak begitu saja dengan mudah melafalkan kalimat-kalimat tauhid yang insya Allah menjadi kemudahan meraih ridho Allah dalam saat-saat pertemuan dengan-Nya. Lalu bagaimana dengan kita? Yang dalam dzohirnya-pun masih sering terlihat jauh dari nilai-nilai Islami?


Pantas saja, para salafussholih, begitu takut menghadapi "Malam Pertama" ini. Sebagaimana kisah wafatnya para sahabat Rasulullah, yang nota bene telah dijamin menjadi penghuni surga.


Seperti kisah menjelang wafatnya Sayyidina Umar bin Khatab RA, orang yang telah terbukti perjuangan dan pengorbanannya untuk dienullah; orang yang diserang oleh seorang kafir disaat menjadi imam dalam sebuat jamaah sholat shubuh, orang yang begitu banyak memberikan harta-nya untuk perjuangan Islam, beliau masih merasa takut menghadap Tuhannya karena merasa belum cukup bekal untuk dipersembahkan kepada Rabb-nya.


Lagi-lagi, peristiwa-peristiwa kematian yang masih bisa disaksikan oleh kita yang masih hidup, memang perlu ditadaburi dengan sepenuh hati. Kita sedang berjalan menuju gerbang kematian. Entah giliran yang ke berapa? Yang jelas itu adalah sebuah keniscayaan.


Seberapa banyak bekal yang telah kita kumpulkan untuk menghadapi "malam pertama" di alam kubur?



Oase Iman, eramuslim.com, 24 Maret 2007

Kado Untuk Suamiku



Hari ini adalah ultah ke-8 pernikahanku dengannya. Tak seperti ultah-ultah perkawinanku sebelumnya, dimana aku selalu menyempatkan untuk membungkus kado kejutan buatnya, buat kami; kali ini tidak.

Sebenarnya jauh di lubuk hati, ada terlintas juga siapa tahu kali ini Mas yang memberi kejutan untukku. Tetapi sampai malam ini ternyata tidak ada sesuatu istimewa yang Mas hadirkan. Dan aku tidak kecewa, karena aku sudah menyangka, tak akan ada apa-apa spesial yang menjadi kejutan bagi kami.

Sekarang aku sudah jauh memahami karakternya. Bukan orang yang romantis. Tak bisa mengungkapkan kata-kata manis secara langsung. Tak biasa memuji, tak biasa menggunakan kata-kata berbau basa-basi, semisal: tolong, maaf,… apalagi kata-kata: sayang… (tabu kali). Ya, begitulah suamiku.

Hal inilah yang dulu sering membuatku luka, karena belum mengertinya aku tentang dirinya. Seiring berjalannya waktu, aku mengerti, bahwa Mas bukan berarti tak sayang bila tak pernah menggunakan kata-kata yang biasa aku dengar dari kehidupanku sebelum dengannya.

Betapa sering dulu aku menangis di setiap malam; betapa selalu bantal basah oleh linangan air mata; saat merasa dicuekin. Terkadang hati ini kesal, bila Mas begitu mudah tertidur seusai kami melakukan sunnah….. Sepertinya aku ini hanya sebuah barang… Itu dulu.

Seorang pemuda yang sama sekali belum pernah aku lihat dan kenal sebelumnya. Dia adalah kakak dari teman kuliahku, seorang wanita sholihah, yang juga menjadi guru tahsin-ku. Setelah melalui malam-malam sujud istikhoroh, aku mantab menerimanya. Menikah tanpa pacaran. Prosesnya lumayan cepat: tukar biodata, bertukar fikiran & idealisme melalui surat, saling mengirim foto, bertemu satu kali langsung dikhitbah (dilamar); tiga bulan kemudian menikah.

Penyesuaianku dengannya memang sangat lama. Karena aku adalah tipe orang yang tak bisa terbuka. Sangat sensitif, mudah menangis, rapuh…. Sementara dia tipe orang yang sangat keras, disiplin dan tegar.

Bagaimanapun, ternyata Allah SWT Maha Penyayang kepada kami. Allah SWT menganugerahkan kesabaran kepadaku untuk memandang jernih masalah perbedaan karakter ini. Teringat sebuah pesan dalam sebuah buku yang pernah kubaca:

“Jika ada surga di dunia, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Namun jika ada neraka di dunia, itulah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan-kecurigaan yang menakutkan antara suami dan istri” (Mohammad Fauzil Adhim)

Dan aku ingin mendapatkan surga dunia itu…

Dari karakter Mas yang semula kufikir sangat bertolak belakang denganku, kutemukan kebaikan-kebaikan luar biasa yang begitu berarti dalam kehidupanku.

Dia sangat telaten mengajari kedua buah hati kami dalam banyak hal. Terutama dalam sholat, membaca Al Qur’an, hafalan, juga pelajaran sekolah.

Suami juga selalu mengatakan “kamu pasti bisa, kalau berusaha!”, seperti saat ia mengoreksi hafalan surat-surat Al Qur’an-ku, dan menyemangati ketika aku berkata tak sanggup menghafalnya; lalu ketika mengajariku mengemudikan kendaraan, semula aku ketakutan hingga akhirnya aku mampu melakukannya.

Ketika aku berhasil berkata “tidak” kepada seorang teman yang kusadari sering memanfaatkanku, aku meniru sikap tegas suamiku. Dan tiba-tiba kini aku merasa jauh lebih berani dibandingkan aku yang dulu.

Kalau toh tak ada kata-kata manis dari bibirnya, buktinya setiap aku sakit, tangan kokohnya dengan terampil memijat-mijat badanku hingga merasa nyaman.

Setiap aku menyadari ada suatu harapanku yang tak kuperoleh darinya, segera aku mencari kebaikan dirinya yang ternyata begitu banyak…
Keinginanku mendapatkan kata-kata manis berupa pujian dan rayuan, lambat laun sirna. Aku menerima dia apa adanya. Tentunya justru aneh, bila tiba-tiba gaya bicara dan kata-katanya berubah seperti harapanku yang dulu.

Ternyata benar jika pernikahan menjadikan kami saling melengkapi. Hari demi hari, kerapuhanku mulai berkurang. Sebaliknya, sikap keras dan ketus suami juga sedikit demi sedikit berganti menjadi tegas namun lembut. Hal ini aku ketahui dari komentar saudara-saudara kami, ketika berkumpul dalam suasana Idul Fitri yang lalu. Saudara-saudaraku berkomentar tentang aku yang tak lagi cengeng; dan saudara-saudara suami berkomentar tentangnya, yang kini makin berwibawa. Alhamdulillah.

Mungkin tulisan ini kado terindah bagi ultah perkawinan kami.

Doakan ummi, Nak...




Pangeran-pangeran kecilku telah terlelap. Desah nafas mereka terdengar indah, seperti irama perdamaian yang dialunkan beraturan. Padahal baru kurang lebih lima menit yang lalu, celoteh mereka masih riang mengalir.“Semoga adik dan mas mimpi indah ya…” ucapku, selepas menemani mereka melafadzkan doa sebelum tidur.

Si Sulung mengangguk sambil tersenyum, sembari merangkul guling kesayangan. Masih bisa kubaca kebahagiaan terpancar dari sorot mata ngantuknya. “Kalau adik pengin mimpi main sama ummi, sama abi, sama mas, sama kelinci juga!” sahut adiknya. “Iya Dik, nanti kita ketemuan di taman yang ada kolam ikannya itu ya, seperti yang diceritain ummi kemarin …” sahut kakaknya kemudian. Aku tersenyum geli.“Amin….

Dah, sekarang bobok ya, kan tadi sudah berdoa. Kalau ngomong terus nanti nggak tidur-tidur, terus…besok kesiangan… Oke?” aku menutup pembicaraan mereka. Tanpa menjawab pun, aku mengerti kalau mereka menyetujuinya, dan sejurus kemudian kelopak mata-mata lucu itu telah terkatup. Cepat sekali mereka tertidur. Kedamaian mereka, telah menghibur jiwaku, dan melepaskan segala kepenatan yang kurasakan seharian ini…

Sementara aku terdiam dalam iringan nafas mereka, angan membawaku kepada rekaman aktivitas hari ini. Tadi pagi, selepas keberangkatan abi mereka, aku tak bisa menahan emosi. Aku melihat anakku yang kecil jatuh tersungkur, sementara Si Sulung masih berdiri termangu di depan adiknya. Spontanitas cubitan mendarat di paha Si Sulung.

Sepertinya tak terlalu sakit, namun tanpa kusangka mata beningnya mulai berkaca-kaca, dan butiran air menetes membasahi pipinya. “Makanya lain kali, kalau dikasih tahu sama ummi dengan cara yang baik, nurut… supaya ummi nggak harus marah-marah kayak gini” kataku pada sosok tujuh tahun di hadapanku yang mulai terisak-isak.“Rebutan mainan melulu, gangguin adiiiiik melulu!”lanjutku kemudian. Padahal hati kecilku berkata, ia sering juga bersikap dewasa dan mengajari adiknya seperti seorang guru. Masih kurang puas, kembali aku memarahinya…“Mas kan sudah besar; Harusnya kalau adik sudah nangis dan teriak-teriak, mas mengalah dulu. Mas bisa ambil mainan yang lain. Paling adik juga cepat bosan…” nada suaraku mulai menurun melihat ia semakin terisak. Kasihan.

“Ya udah, mas minta maaf….” Katanya, masih sambil sesenggukan. Tanpa kusangka, kata-kata itu muncul dari bibir mungilnya. Tangannya menjulur berharap aku menyambutnya, sebagai pertanda aku akan memaafkan ‘kenakalan’ nya.

Padahal pada saat bersamaan akulah yang merasa bersalah, justru ia yang meminta maaf. Penyesalan mulai menghinggapi nuraniku. Mengapa mesti aku tak mampu mengendalikan tanganku hingga mencubitnya. Aku belum tahu secara pasti duduk persoalan yang menyebabkan insiden keributan kakak-adik tadi.

Setiap kali Si Sulung memegang benda apa pun, adiknya selalu ingin melakukan hal serupa. Tak masalah bila kebetulan barangnya ada dua. Tapi bila hanya ada satu benda yang diperebutkan, biasanya aku berhasil merayu agar Si Sulung dengan rela mengalah kepada saudaranya yang masih empat tahun itu. Kali ini mungkin ia sudah bosan terus mengalah. Tangannya dengan kesal mendorong Si Adik hingga tersungkur saat adiknya sambil merengek-rengek berusaha merebut celengan mobil dari tangannya,. Tangis adiknya terasa begitu bising, hingga amarahku pun pecah saat itu. Semua terjadi begitu cepat.Aku menghela nafas. “Astaghfirullah…” ucapku dalam hati. Betapa mudahnya aku menghukum anakku yang masih kecil, dengan sesuatu yang menyakiti hatinya.

Barangkali cubitan itu tidak sampai melukai kulitnya, tapi…mungkin kata-kata dan sikapku tadi telah meninggalkan luka yang membekas di hatinya. Aku sangat khawatir….Seharusnya selalu kuingat kisah Rasulullah yang begitu lembutnya menjaga perasaan seorang anak kecil.

Ketika ada seorang anak kecil yang berhajat di pangkuan beliau, serta merta orangtuanya hendak merenggut dari pangkuan Rasulullah sambil memarahinya, karena Sang Anak telah meninggalkan kotoran pada pakaian orang yang sangat dihormatinya itu. Akan tetapi Rasulullah mencegahnya, membiarkan anak kecil itu dengan tenang menyelesaikan hajatnya; baru kemudian mempersilahkan orangtuanya mengambil untuk dibersihkan. Sambil menasihati: “kotoran yang menempel di pakaianku bisa dihapus, tetapi siapa yang bisa menjamin luka di hati anakmu akan bisa terhapus?”

Dalam keremangan cahaya, kupandangi bergantian wajah kedua buah hatiku. Ekspresi yang polos tanpa dosa, karena memang begitulah keberadaan mereka dalam usia kanak-kanaknya. Sebagai lembaran putih, yang siap ditulisi catatan-catatan kehidupan oleh manusia di sekelilingnya. Ada gejolak tekad di hatiku, membesarkan mereka dengan kesabaran dan pengorbanan. Menghapus luka-luka yang mungkin pernah kutorehkan karena kelalaianku. Menjadikan mereka ksatria-ksatria yang memakmurkan bumi dengan kesholihan dan ketaqwaan…Amin.

Itulah doa dan pengharapan dari seorang ibu yang masih terus belajar menjadi ‘orangtua’. Kelak… kuharapkan pula doa-doa mereka sebagai bekal di hadapan Sang Pemberi Amanah….

“Doakan ummi, Nak….” gumamku dalam hati, sambil berdzikir menunggu mata terpejam menyusul mereka ke taman bermain yang ada kolam ikannya….

Special for: Wafdan & Wafiy, 19/11/06