1.4.07

Doakan ummi, Nak...




Pangeran-pangeran kecilku telah terlelap. Desah nafas mereka terdengar indah, seperti irama perdamaian yang dialunkan beraturan. Padahal baru kurang lebih lima menit yang lalu, celoteh mereka masih riang mengalir.“Semoga adik dan mas mimpi indah ya…” ucapku, selepas menemani mereka melafadzkan doa sebelum tidur.

Si Sulung mengangguk sambil tersenyum, sembari merangkul guling kesayangan. Masih bisa kubaca kebahagiaan terpancar dari sorot mata ngantuknya. “Kalau adik pengin mimpi main sama ummi, sama abi, sama mas, sama kelinci juga!” sahut adiknya. “Iya Dik, nanti kita ketemuan di taman yang ada kolam ikannya itu ya, seperti yang diceritain ummi kemarin …” sahut kakaknya kemudian. Aku tersenyum geli.“Amin….

Dah, sekarang bobok ya, kan tadi sudah berdoa. Kalau ngomong terus nanti nggak tidur-tidur, terus…besok kesiangan… Oke?” aku menutup pembicaraan mereka. Tanpa menjawab pun, aku mengerti kalau mereka menyetujuinya, dan sejurus kemudian kelopak mata-mata lucu itu telah terkatup. Cepat sekali mereka tertidur. Kedamaian mereka, telah menghibur jiwaku, dan melepaskan segala kepenatan yang kurasakan seharian ini…

Sementara aku terdiam dalam iringan nafas mereka, angan membawaku kepada rekaman aktivitas hari ini. Tadi pagi, selepas keberangkatan abi mereka, aku tak bisa menahan emosi. Aku melihat anakku yang kecil jatuh tersungkur, sementara Si Sulung masih berdiri termangu di depan adiknya. Spontanitas cubitan mendarat di paha Si Sulung.

Sepertinya tak terlalu sakit, namun tanpa kusangka mata beningnya mulai berkaca-kaca, dan butiran air menetes membasahi pipinya. “Makanya lain kali, kalau dikasih tahu sama ummi dengan cara yang baik, nurut… supaya ummi nggak harus marah-marah kayak gini” kataku pada sosok tujuh tahun di hadapanku yang mulai terisak-isak.“Rebutan mainan melulu, gangguin adiiiiik melulu!”lanjutku kemudian. Padahal hati kecilku berkata, ia sering juga bersikap dewasa dan mengajari adiknya seperti seorang guru. Masih kurang puas, kembali aku memarahinya…“Mas kan sudah besar; Harusnya kalau adik sudah nangis dan teriak-teriak, mas mengalah dulu. Mas bisa ambil mainan yang lain. Paling adik juga cepat bosan…” nada suaraku mulai menurun melihat ia semakin terisak. Kasihan.

“Ya udah, mas minta maaf….” Katanya, masih sambil sesenggukan. Tanpa kusangka, kata-kata itu muncul dari bibir mungilnya. Tangannya menjulur berharap aku menyambutnya, sebagai pertanda aku akan memaafkan ‘kenakalan’ nya.

Padahal pada saat bersamaan akulah yang merasa bersalah, justru ia yang meminta maaf. Penyesalan mulai menghinggapi nuraniku. Mengapa mesti aku tak mampu mengendalikan tanganku hingga mencubitnya. Aku belum tahu secara pasti duduk persoalan yang menyebabkan insiden keributan kakak-adik tadi.

Setiap kali Si Sulung memegang benda apa pun, adiknya selalu ingin melakukan hal serupa. Tak masalah bila kebetulan barangnya ada dua. Tapi bila hanya ada satu benda yang diperebutkan, biasanya aku berhasil merayu agar Si Sulung dengan rela mengalah kepada saudaranya yang masih empat tahun itu. Kali ini mungkin ia sudah bosan terus mengalah. Tangannya dengan kesal mendorong Si Adik hingga tersungkur saat adiknya sambil merengek-rengek berusaha merebut celengan mobil dari tangannya,. Tangis adiknya terasa begitu bising, hingga amarahku pun pecah saat itu. Semua terjadi begitu cepat.Aku menghela nafas. “Astaghfirullah…” ucapku dalam hati. Betapa mudahnya aku menghukum anakku yang masih kecil, dengan sesuatu yang menyakiti hatinya.

Barangkali cubitan itu tidak sampai melukai kulitnya, tapi…mungkin kata-kata dan sikapku tadi telah meninggalkan luka yang membekas di hatinya. Aku sangat khawatir….Seharusnya selalu kuingat kisah Rasulullah yang begitu lembutnya menjaga perasaan seorang anak kecil.

Ketika ada seorang anak kecil yang berhajat di pangkuan beliau, serta merta orangtuanya hendak merenggut dari pangkuan Rasulullah sambil memarahinya, karena Sang Anak telah meninggalkan kotoran pada pakaian orang yang sangat dihormatinya itu. Akan tetapi Rasulullah mencegahnya, membiarkan anak kecil itu dengan tenang menyelesaikan hajatnya; baru kemudian mempersilahkan orangtuanya mengambil untuk dibersihkan. Sambil menasihati: “kotoran yang menempel di pakaianku bisa dihapus, tetapi siapa yang bisa menjamin luka di hati anakmu akan bisa terhapus?”

Dalam keremangan cahaya, kupandangi bergantian wajah kedua buah hatiku. Ekspresi yang polos tanpa dosa, karena memang begitulah keberadaan mereka dalam usia kanak-kanaknya. Sebagai lembaran putih, yang siap ditulisi catatan-catatan kehidupan oleh manusia di sekelilingnya. Ada gejolak tekad di hatiku, membesarkan mereka dengan kesabaran dan pengorbanan. Menghapus luka-luka yang mungkin pernah kutorehkan karena kelalaianku. Menjadikan mereka ksatria-ksatria yang memakmurkan bumi dengan kesholihan dan ketaqwaan…Amin.

Itulah doa dan pengharapan dari seorang ibu yang masih terus belajar menjadi ‘orangtua’. Kelak… kuharapkan pula doa-doa mereka sebagai bekal di hadapan Sang Pemberi Amanah….

“Doakan ummi, Nak….” gumamku dalam hati, sambil berdzikir menunggu mata terpejam menyusul mereka ke taman bermain yang ada kolam ikannya….

Special for: Wafdan & Wafiy, 19/11/06

No comments: